Saya sebisa mungkin menemukan harta paling berharga yang dimiliki manusia dari zaman ke zaman: semangat. Harta itupun masih bisa saya temukan pada diri anak-anak dan para guru yang mengabdi di sini.
Di tengah gemerlapnya kemajuan zaman, kealamian adalah tontonan paling masuk akal dan menarik yang boleh kita rasakan. Praktis, sekolah ini merupakan warisan romantisme masa lalu yang bertahan.
Walau baru dua tahun berdiri, sekolah ini terlihat bagai pemuda yang karena kelebihan beban hidup lalu stres, sehingga raut wajahnya tampak lebih renta dari umurnya.
Atap sekolah ini dari bahan lontar, tampak tua dan lusuh di bawah sinar matahari yang terik. Atapnya didesain berbentuk perisai, dan pada bagian atas atap dipasang beberapa kayu untuk menekan daun-daun lontar itu.
Di beberapa tempat di NTT, atap jenis ini menggunakan daun alang-alang ataupun daun kelapa.
Dinding sekolahnya seratus persen memakai bebak. Ini tentu bukan sebuah pemandangan langka. Rumah-rumah berdinding bebak banyak kita temukan di dataran Timor. Bebak sendiri adalah dinding-dinding yang dibuat dari batang daun giwang. Pada beberapa wilayah di NTT, ada bebak yang menggunakan bambu.
Praktis, sekolah ini hanya terdiri dari tiga ruangan darurat; sebuah untuk para guru dan kepala sekolah, dua ruangan untuk siswa. Lantainya masih alami -- lantai tanah.
Guru-guru yang mengajar di situ sepertinya melupakan begitu saja, bahwa sekat antar ruangan terlihat bolong, dan cahaya dari luar ruangan sangat menggangu penglihatan. Ini saya alami ketika ingin memfoto isi ruangan, dan cahaya yang muncul dari celah-celah dinding membuat kualitas foto saya begitu buruk. Atau mungkin karena memang kualitas kamera saya yang buruk. Akhirnya saya biarkan saja foto itu tersimpan apa adanya.
Di sini, segalanya serba sederhana. Tidak ada kursi plastik yang bisa mereka gunakan untuk duduk. Tidak ada meja berbahan kayu jati ataupun meja kaca. Pada bagian tengah ruangan guru, terdapat tiga tiang penyangga ruangan -- rayap merayap dan memakan tiang-tiang itu dengan diam-diam. Tiang-tiang penyangga, kuda-kuda, atap, dinding -- semuanya itu telah lapuk.
Dalam posisi berdiri Constan bercerita, sekolah ini dibangun karena menanggapi kebutuhan masyarakat desa Pathau. Bahkan, bangunan sekolah ini adalah hasil kerja swadaya masyarakat setempat. Masyarakat sangat membutuhkan sebuah SMP negeri, katanya bersemangat, karena untuk bersekolah di tempat lain di wilayah itu, jaraknya lumayan jauh.
"Saya pernah memasukkan proposal bantuan pembangunan gedung sekolah kepada pemerintah, tapi mereka bilang 'kamu tunggu saja. Banyak sekolah lama yang harus diurus'," ujarnya dalam nada menyesal.