Mohon tunggu...
Ambrosius Harto
Ambrosius Harto Mohon Tunggu... -

Jadi wartawan sejak akhir 2003. Sebelumnya sempat menganggur setengah tahun selepas lulus dari Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Awalnya ingin jadi gitaris death metal bahkan pastor tetapi ganti haluan sebab memilih kewartawanan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bentrok

20 September 2011   09:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:47 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mau tidak mau saya terusik dan prihatin dengan bentrokan antara wartawan dan siswa SMA Negeri 6 di Jakarta Selatan. Pelbagai cerita di blog atau situs, komentar di twitter, facebook, situs, dan blog, dan juga pemberitaan membuat saya tertarik dan tergelitik. Bukan karena saya-masih seorang wartawan-kemudian ingin membela teman-teman saya yang terlibat bentrokan melainkan ingin melihat peristiwa itu dengan lebih jelas.

Emoh saya menggali untuk kemudian menuding siapa pihak yang bisa disalahkan terkait peristiwa itu. Semua pihak bisa berdalih dan berargumentasi. Yang lebih baik ialah menyerahkan penilaian kepada publik. Diharapkan, media membeberkan fakta-fakta dengan akurat dan berimbang sebagai modal publik untuk menentukan sikap, opini, dan wawasan terkait peristiwa tersebut.

Kalau boleh saya analisa, beberapa hari sebelum peristiwa itu, ada tawuran antara siswa SMA Negeri 6 dan siswa SMA Negeri 70. Dua sekolah ini berdekatan dan sudah dikenal 'bermusuhan'. Entah mengapa, kebencian dan penyelesaian lewat perkelahian masih abadi. Padahal, Ali Sadikin saat menjabat Gubernur DKI Jakarta sampai mendirikan kawasan GOR Bulungan-dekat Plasa Blok M-untuk memindahkan energi siswa sejumlah sekolah di situ agar tidak berkelahi tetapi berolahraga.

Dalam tawuran antarsiswa itu, ada wartawan yang sedang berada di sana. Tawuran adalah peristiwa dan layak sebagai berita. Persoalan bagaimana meliput peristiwa dan melaporkannya tentu terkait intelejensia sang wartawan. Nah, masalahnya, mengapa kaset sebagai media karya jurnalistik wartawan peliput tawuran antarsiswa itu diminta-diduga secara paksa-oleh sekelompok siswa yang katanya mengaku dari SMA Negeri 6.

Saya menduga, mungkin siswa yang meminta kaset itu khawatir wajah dan rupa mereka akan terkenali oleh orangtua atau warga yang menonton berita dari kaset itu. Namun, meminta karya jurnalistik sehingga informasi itu berpotensi batal, bagi saya adalah tindakan menghalangi tugas kewartawanan.

Menjadi amat wajar apabila wartawan mempertahankan karya jurnalistik dan alat-alat yang dipakainya dengan risiko apapun biarpun Tiada Berita Seharga Nyawa. Wajar juga ketika dalam tekanan dan ketidakberdayaan mempertahankan diri, karya jurnalistik wartawan terebut oleh siswa yang kemudian memicu unjuk rasa sejumlah wartawan ke SMA Negeri 6.

Nah, unjuk rasa wartawan itu pun saya yakin berlangsung damai. Wartawan tentu menuntut pertanggungjawaban SMA Negeri 6 terkait permintaan paksa kaset rekaman video peliputan tawuran milik wartawan oleh siswa sekolah tersebut.

Unjuk rasa itu pun tentu sebuah berita atau peristiwa yang layak diabadikan oleh kalangan wartawan yang ikut serta dalam unjuk rasa dan atau yang datang meliputnya. Memanfaatkan kondisi yang ada, menjadi wajar apabila ada wartawan yang bersemangat mengabadikan peristiwa lewat kamera foto dan video dari pelbagai sudut. Untuk menghasilkan gambar dari pelbagai sudut, pelbagai posisi-biarpun sesulit apapun-akan dicoba. Ketika seorang fotografer naik ke gerbang untuk mengabadikan unjuk rasa, apakah itu kemudian bisa disalahkan karena dianggap memprovokasi siswa sekolah? Kalau siswa terprovokasi, tampaknya ada ketikdaktahuan pengetahuan tentang bagaimana wartawan meliput peristiwa.

Ketika kemudian unjuk rasa itu berujung bentrok, diberitakan 5 pewarta foto dan 7 siswa terluka. Bagi saya, kalau pewarta foto terluka bahkan terpaksa memukul siswa untuk mempertahankan diri dan alat-alatnya agar terus bisa berkarya, saya MAKLUM. Kerusakan alat menjadi risiko buruk yang dialami sebab boleh jadi alat itu milik pribadi atau milik kantor yang berpotensi membuat si wartawan terganggu dalam tugas-tugas selanjutnya. Bagaimana dengan siswa? Saya emoh berpolemik kecuali bertanya apa yang dipertahankan siswa? Harga diri? Terpancing ejekan kemudian menyerang?

Dari situ, saya berharap pengusutan kasus ini bisa difokuskan setidaknya dalam dua hal. Pertama, pelanggaran Undang-Undang Pers terkait permintaan kaset rekaman video tawuran oleh siswa.  Siswa peminta, sadar atau tidak sadar, telah melanggar dan menghalangi tugas jurnalistik seorang wartawan. Kedua, pemukulan yang mengakibatkan jatuhnya korban di kalangan wartawan dan siswa. Dalam hal ini, jangan ragu juga untuk menyeret wartawan yang terlibat perkelahian.

Di sisi lain, mari mencari akar persoalan mengapa kekerasan begitu subur di Jakarta? Mengapa semua lapisan warga dan usia kerap mengedepankan kekerasan sebagai jalan? Patut dipertanyakan, adakah peran media massa di situ? Kalau ada, sebuah koreksi yang amat berharga agar media massa menjadi lebih baik.

Secara pribadi, izinkan saya menyampaikan keprihatinan kepada korban baik wartawan dan siswa dalam bentrokan. Mari hindari dan tolak kekerasan. Semoga kejadian ini tidak diulang dan berulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun