Mohon tunggu...
Ambar Wulandari
Ambar Wulandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - ambarwulandari79@gmail.com

Jangan takut berjalan lambat, takutlah jika hanya diam ditempat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Strategi Membangun Pikiran Kritis

12 Juli 2021   18:51 Diperbarui: 2 November 2021   14:01 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa manfaat pengetahuan? Berikut ini adalah penjelasan tentang manfaat pengetahuan, yaitu sebagai berikut:

a). Pengetahuan Mendukung Produktivitas dan Kerja

Semua orang bisa menciptakan produk-produk yang mencirikan sesuai dengan inisiatifnya sendiri, bukan untuk di perjual belikan guna mencari keuntungan, tetapi untuk menandai kreativitasnya yang membedakan dengan kreativitas orang lain. Bayangkan tidak ada monopoli terhadap teknologi dan pengetahuan, maka semua orang itu cerdas dan hidup indah.

Anak-anak dan kaum muda kita bukan lagi sekolah untuk mencari pekerjaan dan uang, melainkan untuk belajar agar menemukan suatu pengetahuan dan teknologi yang baru, karya dan kreativitas yang baru. Bukan untuk dijual agar mereka mendapatkan untung untuk diri sendiri, bukan penelitian yang dijual belikan, tapi untuk diketahui bersama. Semua tahu dan paham, semua mampu menggunakan, dan bukan memiliki.

b). Pengetahuan Menguak Selubung Ideologi Lama yang Palsu dan Melanggengkan Kebenaran

Jika semua paham dan memahami dunia, selubung-selubung palsu ide-ide lama akan hilang antara satu orang dan lainnya (antara satu kelompok dan kelompok lainnya) tidak akan terjadi bentrok atau konflik. Masalahnya, kebanyakan konflik dan percekcokan yang terjadi di masyarakat kita kebanyakan disebabkan karena tidak adanya pemahaman dan pengetahuan yang objektif. Misalnya, pada saat masyarakat mengalami masalah ekonomi akibat penindasan dan perbedaan kelas (antara kelas tertindas dan ditindas), mereka tidak paham bahwa sumber utamanya adalah masalah ekonomi (masalah yang sesungguhnya bisa diketahui dan ditata kembali). Dengan demikian, ketidaktahuan itu membuat mereka salah memahami persoalan sehingga seakan yang muncul adalah masalah lainnya, seperti masalah agama, suku, ras, budaya, dan lain-lain. Tak heran jika konflik berdasarkan SARA (suku, ras, agama) banyak muncul di negeri kita pada saat masyarakat tidak paham kalau masalah yang sebenarnya terjadi adalah masalah ekonomi (penindasan dan ketimpangan ekonomi yang semakin parah).

c). Mengembalikan Fitrah Manusia Sebagai "Ulul Albab"

Tegasnya, semua manusia dituntut oleh sejarah kemanusiaan untuk jadi orang yang banyak pengetahuan atau sering disebut "intelektual" yang dalam agama islam disebut "Ulul Albab". Dalam kitab suci Al-Qur’an disebutkan bahwa manusia adalah "makhluk dalam sebaik-baiknya bentuk". Jadi, orang yang berpengetahuan itu adalah orang yang memiliki kelebihan, yaitu manusia sebagai makhluk yang tinggi derajatnya dibandingkan dengan hewan yang tidak menggunakan pengetahuan untuk bertindak atau merespons realitas, tetapi hanya menggunakan nafsu. Maka, jika kita tidak memiliki pengetahuan sama halnya kita hanyalah makhluk rendah seperti binatang.

C. Lahirnya Nalar Kritis

Ahli sejarah Bert James Loewenberg mengatakan "kritikan adalah surganya pemikiran kreatif". Pada mulanya kegiatan mengkritik dimulai akibat adanya rasa tidak puas akan kenyataan, karena akibat dari kesalahan atau sesuatu yang dianggap sebagai keputusan, kebijakan atau realitas yang salah. Mengapa tidak puas? Apakah ada ketimpangan dan fakta yang tidak menyenangkan?. Kebodohan dan hilangnya nalar kritis lahir, karena tiadanya reaksi akan situasi ketimpangan yang ada di sekelilingnya dan mempengaruhinya. Lalu, dari manakah potensi pikiran kritis muncul?.

Sebagaimana yang telah diuraikan di bagian sebelumnya, dalam masyarakat yang dipenuhi ketimpangan dan penindasan rakyat jelata bekerja keras, bahkan mengeluarkan keringat, darah, dan air mata (disaat berperang demi melawan kekuasaan raja). Rumah jelek, kesehatan yang rendah, dan pendidikan tidak ada (karena hanya anak-anak bangsawan yang dapat menikmati pendidikan). Raja dan kalangannya justru menikmati hidup enak dan nikmat. Kondisi ketimpangan tersebutlah yang memberikan dasar bagi situasi masyarakat yang bodoh, terbelakang pengetahuannya, dan memang dalam masyarakat yang diwarnai penindasan serta pembodohan hal tersebut selalu terjadi. Mengapa hal ini terjadi? yang terjadi adalah bahwa dalam pikiran dan hati penindas, kehendak (keinginan dan kepentingan) subjektifnya selalu cocok dengan kondisi objektif. Akibatnya, bagi penindas seakan-akan kehendak subjektif adalah kondisi objektif itu sendiri.

Misalnya, kehendak subjektifnya yaitu:

  • "saya ingin kesenangan", objektifnya: semua tersedia. Dalam dialektika sejarah, bahkan dalam kehidupan sehari-hari ini adalah latihan psikologis yang membentuk watak sepihak, subjektif, dan pada akhirnya kalau kondisi objektifnya tidak cocok, maka akan muncul watak atau sikap memaksa.
  • Karena itu, kita sering berhadapan dengan fakta: memaksa merupakan tindakan yang terjadi karena kepentingan yang dijalankan secara sepihak, pemikiran dan tindakan yang salah, tetapi dipaksakan. Sehingga, pada akhirnya penindasan selalu butuh alat memaksa dan menggunakan cara memaksa jika ada pertentangan dengan rakyatnya.
  • Lahir pula watak tidak sabar, oportunisme, menjilat, korup, dan lainnya. Mari kita lihat bahwa tatanan masyarakat berkelas (perbudakan, feodalistik, dan kapitalisme) adalah penyebab watak manusia yang bangkrut dan jahat. Seperti halnya raja butuh keinginannya tercapai, kalau tidak ia akan marah. Untuk memenuhi kehendak subjektif atasannya ini, tangan kanannya harus mampu menyenangkannya, takut kalau mengecewakan atasannya, sehingga memberi laporan-laporan yang menghibur,  supaya ia tetap bisa mendapat bayaran dari atasannya. Maka, kebiasaan ini melahirkan budaya menjilat dan menipu. Mari kita buktikan bahwa semakin banyak orang berani melawan, sebenarnya ia ingin membongkar kemunafikan dan kebohongan kaum penindasnya. Dalam perjalanan sejarah, pemikiran kritis yang membongkar tabir kebohongan kekuasaan yang menindas selalu diikuti dengan gerakan perlawanan. Maka tokoh-tokoh dan kaum kritis muncul dalam berbagai macam caranya untuk menyampaikan "kebenaran". Apakah "kebenaran" dan cara pandang baru yang lebih maju tersebut muncul dengan sendirinya? Apakah kebenaran muncul dengan sendirinya sebagaimana wahyu turun dari langit? Tentu saja tidak. Realitas yang timpang dan kontradiktiflah yang menekan orang untuk berpikir, merenung, dan kemudian menghasilkan pemikiran serta gerakan baru. Seandainya tidak ada pertentangan, ketimpangan, dan kontradiksi (permasalahan) dalam ranah kehidupan, cara berpikir dan bertindak manusia tidak akan pernah maju.

Nama: Ambar Wulandari

Nim: 2120263

Kelas: Filsafat Umum-G

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun