Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan keprihatinannya atas kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terus diberitakan. Â Data SIMFONI PPA menunjukkan 10.597 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang tahun 2024, dengan 3.378 korban laki-laki dan 8.332 korban perempuan. Pelaku kekerasan seksual biasanya dekat dengan korbannya. Faktor-faktor yang mempermudah kejahatan ini termasuk isolasi sosial, penggunaan teknologi tanpa pengawasan, dan kurangnya kontrol lingkungan. Kasus ini berdampak psikologis dan fisik pada korban. Pendekatan psikologi perkembangan seperti yang dikembangkan oleh Erik Erikson, dan Sigmund Freud sangat membantu dalam memahami dampak. Dalam teori psikososialnya, Erik Erikson mengatakan bahwa perkembangan manusia melewati delapan tahap, dan setiap tahap memiliki masalah yang harus diselesaikan.Â
Anak-anak yang telah mengalami pencabulan sering mengalami dua tahap penting. Pertama, tahap kepercayaan versus ketidakpercayaan, terjadi dari lahir hingga 1,5 tahun. Pada titik ini, anak mulai membangun kepercayaan pada lingkungan sekitarnya melalui interaksi dengan pengasuh utamanya. Anak akan menjadi tidak percaya pada orang lain dan merasa dunia tidak aman jika pengasuh atau orang yang seharusnya melindunginya melukai mereka. Kedua, tahap otonomi versus rasa malu, terjadi antara 1,5 dan 3 tahun. Pada titik ini, anak-anak mulai mengeksplorasi dunia mereka dan belajar menjadi orang yang mandiri. Anak yang mengalami trauma pencabulan dapat merasa malu, ragu, atau tidak berdaya bahkan ketika mereka mencoba memahami apa yang mereka alami.Â
Masalah psikososial jangka panjang, seperti kecemasan dan kesulitan membangun hubungan yang sehat, dapat muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk mengatasi tantangan pada kedua tahap ini. Teori perkembangan psikoseksual Sigmund Freud memberikan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana pencabulan berdampak pada identitas seksual dan perilaku anak-anak di masa depan. Freud membagi perkembangan psikoseksual menjadi lima tahap: oral, anal, phallic, latency, dan genital. Dua tahap yang paling relevan untuk pencabulan adalah phaillic (antara usia 3-6 tahun) dan latency (antara usia 6-12 tahun). Anak-anak belajar tentang hubungan interpersonal dan identitas gender pada tahap phallic. Pada usia ini, kekerasan seksual dapat mengganggu perkembangan mereka, menyebabkan fiksasi atau trauma, yang berdampak pada hubungan interpersonal dan perkembangan seksual mereka di masa dewasa.Â
Selama tahap latency, anak-anak harus berkonsentrasi pada pengembangan keterampilan sosial dan pendidikan mereka. Trauma yang terjadi pada tahap ini sering kali menyebabkan anak menarik diri dari lingkungan sosial dan kesulitan membangun hubungan dengan teman sebaya. Pengawasan yang kurang memadai, penggunaan teknologi tanpa pengawasan, dan rendahnya kesadaran sosial adalah beberapa faktor yang berkontribusi pada peningkatan kasus pencabulan terhadap anak. Anak-anak lebih rentan terhadap ancaman dari predator online dan orang di sekitar mereka karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, sering kali tanpa pengawasan orang tua. Ketidakmampuan anak untuk memahami batasan tubuh mereka menyebabkan mereka sulit menemukan atau melaporkan perilaku yang tidak pantas. Sebaliknya, stigma dan kekhawatiran tentang konsekuensi sosial menyebabkan masyarakat sering menghindari melaporkan kasus kekerasan seksual.
Pencabulan terhadap anak memiliki dampak yang sangat luas, mencakup gangguan fisik, psikologis, dan sosial. Korban psikologis sering mengalami trauma jangka panjang, seperti kecemasan, depresi, atau rasa bersalah yang mendalam. Sedangkan korban fisik dapat mengalami cedera, penyakit menular seksual, atau masalah kesehatan lainnya. Korban sosial sering merasa terisolasi dan kesulitan membangun hubungan interpersonal yang sehat. Ini menunjukkan bahwa pendekatan komprehensif diperlukan untuk menangani kasus pencabulan anak karena efeknya yang sangat luas, mencakup gangguan fisik, psikologis, dan sosial. Korban sering mengalami trauma psikologis yang berlangsung lama, seperti kecemasan, depresi, atau rasa bersalah yang mendalam. Korban juga dapat mengalami cedera, penyakit menular seksual, atau masalah kesehatan lainnya. Korban sering merasa terisolasi secara sosial dan sulit membangun hubungan interpersonal yang sehat. Ini menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan komprehensif dalam menangani kasus pencabulan anak sangat penting.
Keluarga, masyarakat, dan pemerintah harus bekerja sama untuk mencegah dan menangani pencabulan. Anak-anak harus dididik tentang hak atas tubuh mereka sejak dini agar mereka dapat mengidentifikasi dan melaporkan tindakan yang tidak pantas. Untuk menghasilkan efek jera, pelaku kekerasan seksual harus dikenakan hukuman yang tegas. Korban juga membutuhkan dukungan mental yang memadai. Metode seperti terapi bermain, atau play therapy, dapat membantu anak mengatasi trauma dengan aman dan sesuai usia. Untuk menghilangkan stigma terhadap korban dan mendorong masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan seksual, juga perlu dilakukan kempanye kesadaran publik.
Kasus pencabulan anak di bawah umur merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat parah dan membahayakan perkembangan anak. Karena anak-anak adalah aset masa depan negara, kita semua harus bekerja sama untuk mencegah dan menangani masalah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H