Mohon tunggu...
Ari Ambarwati
Ari Ambarwati Mohon Tunggu... -

Pengajar, peneliti dan peminat sastra anak, suka blusukan ke pasar tradisional, penikmat kuliner dan wastra tradisional Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Curhat Bunda: Dua Surga Itu....................

11 Mei 2010   11:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:16 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Istriku, di surga mana kau peram benih yang kutaburkan?" ini adalah cukilan puisi kawan lama saya di Jember, Isnadi--Is, semoga kau ijinkan aku menebarkan kata-kata indahmu untuk Kompasianers. SURGA itu bernama rahim. Penggambaran yang luar biasa mengharukan sekaligus membanggakan. Betapa setelah telapak kaki, perempuan masih dimanjakan dengan surga 'lain' yang berwujud rahim. Sebentuk rumah nyaman penuh cahaya hangat yang bersemayam dalam tubuh perempuan. Tempat benih itu bermukim dengan nikmatnya.

Benih yang tumbuh dalam dekapan kehangatan yang tiada tertandingi. Benih itu berkembang, tumbuh dan membesar, membuat perut para bunda kian membulat. Langkah-langkah mereka ibarat pinguin yang berjalan tertatih ke kiri dan ke kanan, menjaga irama keseimbangan surga yang terbawa kemana-mana. Pendar-pendar kecantikan itu tergurat jelas dalam air muka bunda, kecantikan yang sungguh paripurna. walau pipi kian membulat dan lekuk indah pinggang itu mengembang ke samping dengan seimbang, laksana bantal berjalan, ah apa yang lebih indah dari melangkah dengan surga dan benih yang tertanam dalam perut?

Nyeri hebat payudara bunda, yang perlahan terisi sumber kehidupan tebaik yang pernah diminum makhluk yang bernama manusia, bukanlah sakit yang pantas ditangisi. Anakku, dengarlah........derasnya air untukmu yang berkubang dalam payudara bunda. Sungguh menenangkan, seperti gerimis yang datang pertamakalinya menyapu debu kemarau. Menyisakan kesegaran yang takkan tergantikan sumber air terbaik manapun di muka bumi ini...............

Kau menendang serta meninju-ninju dinding surga, hingga getarannya bunda rasakan sampai ke kulit perut. Kau mendengar semua suara yang bunda hantarkan untukmu. Kau rasakan segenap keriuhan emosi yang membuncah, membanjiri dada bunda. Nak, kau nyaman dan akan aman di sana, hingga waktunya nanti. Bunda senandungkan segala nyanyian terindah, dengan syair terbaik yang pernah bunda dengar.

Bunda tak pernah bisa melihat ke dalam surga yang katamu luar biasa nyaman itu. Bunda tak juga mampu merasakan bagaimana dekap hangat surga itu memeram dirimu. Bunda tak kuasa membayangkan keindahan surga itu, hingga dirimu beroleh segala rupa kemegahan yang mungkin tak lagi kau temui setelah waktumu tiba untuk mencium bunda. Bunda lupakan seribu rasa sakit yang seakan berlomba menggedor seluruh badan, hingga jiwa ini seakan lepas dari badan untuk sementara waktu.

Anakku.........................sampai tiba waktunya nanti, bunda takkan mampu mempersembahkan surga yang pernah kau tinggali dulu. Bunda hanya punya doa yang takkan putus termakan usia, takkan lapuk terkepung panas juga hujan, takkan tergores pisau tajam sekalipun, takkan lebur dimartil sekalipun, takkan tersapu gelombang yang lebih dahsyat dari tsunami, pun takkan leleh oleh panas api sekalipun...............karena bunda tak punya surga di luar rahim dan telapak kaki, maka doa bunda ibarat nyanyian yang terus menggema di setiap liter darahmu, di sepanjang urat nadimu, di setiap detak jantungmu, di setiap helaan nafasmu, di setiap senti kulitmu..........................

Dan Tuhan tahu, bunda tak pantas meminta lebih padamu, karena engkaulah, Tuhan berkenan menitipkan dua surganya dalam tubuh bunda, rahim dan telapak kaki........................dua surga yang takkan mampu bunda rajutkan untukmu, anakku.........................

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun