Mohon tunggu...
Ari Ambarwati
Ari Ambarwati Mohon Tunggu... -

Pengajar, peneliti dan peminat sastra anak, suka blusukan ke pasar tradisional, penikmat kuliner dan wastra tradisional Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Biar Palsu Asal Branded

30 Desember 2009   06:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:42 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau kawan-kawan main ke Malang, sempatkan main ke Plaza Araya. Plaza? yap, bukan untuk melihat bangunan fisiknya, tapi untuk merasakan aura kegigihan para perajin serta penjual tas made in Tanggulangin. Tanggulangin adalah kawasan sentra industri rumah tangga tas dan koper yang ada di Sidoarjo. Dulu, kawasan ini amat terkenal sebelum lumpur lapindo memporak porandakan jalur Surabaya-Malang dan sebaliknya. Bis-bis wisata berdatangan dari berbagai penjuru untuk mengantarkan wisatawan berbelanja pernak-pernik khas Tanggulangin, mulai dari tas, koper, sepatu, gantungan kunci, dompet dan sejenisnya.

Kini, wisatawan harus berpikir ribuan kali berkunjung ke Tanggulangin mengingat parahnya kemacetan di jalur Porong, jalan utama menuju Malang dan sebaliknya. Ribuan rumah, pabrik, tempat usaha, sekolah, rumah ibadah bahkan pemakaman umum terendam lumpur. Tanggul boleh saja diangun untuk membendung aliran lumpur, tetapi tetap saja bolak-balik jebol dan ancaman nyata terpampang di depan mata, tiap kali melintasi jalur Porong, baik melalui jalur jalan dengan mobil pribadi maupun kereta api. Bau gas yang menyengat--bahkan meski kaca mobil ditutup erat--amat kuat menyembur. jalur itu menjadi jalur doa paling kencang saat siapapun melintas, para pengemudi truk, pengemudi tronton, pelaju yang harus pulang pergi ke dan dari tempat kerja. Keselamatan mereka bisa terenggut kapan saja mengingat banyak kejadian di rumah penduduk yang belum terendam lumpur, muncul api dengan bau menyengat secara tiba-tiba. Tak terbayangkan deritanya.

Sekian tahun lalu saya sempat bangga punya tas branded meski yang KW 1 dan kualitas super--biasa disebut fake--, meski tentu saja itu tiruan--buatan Hongkong dan China--tapi begitu melihat semangat meluap dari perajin tas Tanggulangin saya jadi tertampar. Betapa anehnya saya ini. Bisa pakai merk asli Indonesia mengapa lebih bangga pakai tas branded yang tiruan. How stupid I am....

kegigihan untuk terus berkarya meski sebagian asa dan impian tersapu lumpur lapindo adalah semangat luar biasa yang mereka miliki. Semangat itu lahir dari sikap pantang menyerah, percaya bahwa hari esok pasti lebih baik,  ada hari ada rejeki, bahwa Tanggulangin harus tetap eksis untuk menunjukkan betapa lumpur sekalipun tak boleh mengubur mimpi siapapun.

Tas Tanggulangin mungkin tak sehebat tas bikinan Hermes, Jimmy Cho, LV, Bottega atau yang terkenal seantero jagad dan bisa dimiliki dengan harga berpuluh-puluh juta bahkan lebih. Namun tas Tanggulangin merekam jejak kegigihan perajin Tanggulangin yang tetap tegak berkarya. Lumpur boleh terus membenamkan rumah dan tempat usaha mereka tapi tidak cita-cita mereka. Kalau sudah begini, saya percaya inilah label dan merk tas sesungguhnya yang harusnya juga dimiliki setiap perempuan Indonesia yang menenteng tas kemana-mana. Meski branded tapi palsu, ah benar-benar gak lucu.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun