Pagupon omahe doro, melu Nippon uripe soro, terjemahan bebasnya: pagupon--kandang--rumahnya burung dara, ikut Jepang hidupnya sengsara. Adalah parikan--semacam pantun--yang amat terkenal dari seorang Markeso. Ia adalah maestro ludruk garingan--ludruk yang dibawakan secara solo, tanpa iringan gamelan, tari remo maupun panembromo.
Itu saya ketahui dari tulisan koran--sekarang korannya sudah almarhum dan tak sepatah katapun yang saya baca sebagai kebenaran dan kebanggaan sejarah dari arek-arek Suroboyo tersurat dalam buku-buku pelajaran, mulai SD hingga SMU. Padahal parikan legendaris itulah yang sempat membuat tentara Jepang berang.
Saat ngamen di depan rumah, cak Markeso saya tanya kenapa masih istiqomah menggauli ngludruk garingan, ia menjawab enteng:"Nek aku pinter, aku yo mestine kuliah koyok awakmu ning Ambar, tapi isoku mek ngludruk garingan, yo iki sing tak lakoni," terjemahan bebasnya:kalau aku pinter, aku pasti kuliah seperti dirimu, tapi kemampuanku ya ludruk garingan, maka inilah yang aku jalani," ia juga berkata sesekali memijat orang untuk menambah pemasukan bagi ia dan istri yang sudah setia mendampinginya.
Yang membuat saya tak terbendung melelehkan air mata adalah ketika ia dikabarkan meninggal di gang Dolly, Surabaya. Bukan karena gang Dolly yang notabene kampung prostitusi terbesar se Asia Tenggara, tempat dimana ia banyak mendapat permintaan untuk melantunkan ludruk garingan, tapi karena seharusnya kita bisa menyediakan tempat yang layak untuknya, seperti gedung kesenian, tentu dengan apresiasi, aplaus dan honor yang jauh lebih pantas. Sekarang kemana lagi saya harus pergi untuk menikmati ludruk garingan cak Markeso?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H