Inilah jawaban atas pertanyaan di bagian akhir tulisan yang lalu. Dengan prakondisi (siswa dan pembuat soal) yang tidak memadai, format soal pilihan ganda: (1) lebih membuka jebakan ke arah aspek hasil dari pada aspek proses; (2) terbukanya kemungkinan pencemaran pola pikir siswa oleh sikap bermental judi, (3) mendesain sebuah pola pikir yang menyatakan “ini yang benar, yang lain salah”. Maka jelas, UN sebagaimana ada saat ini tidak akan dapat mewujudkan idealisme sekolah sebagai Sang Pembebas. UN lebih berperan meluluhlantakkan proses pembelajaran ideal (yang mendasarkan pada prinsip konstruktivisme[1]) daripada berperan menyokongnya.
Itu baru dari sisi UN. Marilah kita cermati proses didik yang terjadi dari sisi muatan kurikulumnya. Berikut, penulis cuplikkan beberapa bab dalam Seri Buku Sekolah Elektronik (bse) IPA kelas VI [2] :
Bab 3 Keseimbangan Ekosistem (Materi : Kondisi yang Memengaruhi Perubahan Ekosistem, Pemanfaatan Hewan dan Tumbuhan Oleh Manusia)
Bab 7 Perubahan pada Benda (Materi : Pembusukan pada Benda, Pelapukan pada Benda, Perkaratan pada Benda),
Bab 11 Bumi dan Gerakannya (Materi :Gerakan Bumi, Gerakan Bulan, Gerhana, Penentuan Penanggalan Kalender Berdasarkan Gerak Bumi dan Bulan)
Dua contoh materi ajar (dalam bse tersebut) berikut ini penulis sertakan sebagai pelengkap.
Contoh-1, salah satu gambar materi hal. 123)
Contoh-2, salah satu soal evaluasi hal. 140
Nah! Itu baru 3 dari 12 bab di satu bidang ajar, tentu masih harus ditambah dengan bidang ajar yang lain! Wuaouw, apa yang perancang kurikulum akan capai dengan muatan kurikulum seperti itu? Barangkali anak-anak Indonesia dengan usia berkisar 6- 12 tahun saat ini telah ber-super-revolusi sehingga berkemampuan-pikir dan berkemampuan olah-rasa setara dengan para perancang itu, ya?
Bolehlah kita mengelus dada, asal tidak lupa secara jernih menelaah hal tersebut. Setidaknya akan dapat kita urai dan cabut4(empat) helai benang merah:
- Muatan kurikulum (untuk semua bidang studi) tidak sesuai dengan perkembangan fisis dan mental anak!
- Bidang studi (bidang ajar) terlalu banyak (overload). Singkatnya, anak usia SD/MI belum saatnya menerima bidang ajar IPA, IPS, dan Matematika. Sebagai alternatif penggantinya, Pengetahuan Umum, Matematika realistik/konstruktif, dan Cinta/Bangga Tanah Air.
- Perbesar porsi muatan ajar berbasis ketuhanan, budaya lokal, dan etika.
- Hindarkan materi ajar/soal yang dicemari oleh tujuan politik tertentu.
Satu frase sebagai penyimpul atas keempat helai benang merah di atas : Rombak Kurikulum.
Perombakan kurikulum harus didasarkan atas aspek kesiswaan (fisis dan mental), bukan keinginan perancang kurikulum. Satu hal yang harus diperhatikan oleh perancang kurikulum mendatang adalah : pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran si empunya pengetahuan ke pikiran si nirpengetahuan. Inilah yang menjadi penyebab banyaknya siswa yang salah menangkap apa yang diajarkankan oleh guru. Sebagai penggantinya adalah : pengetahuan harus dikonstruksikan atau setidaknya diinterpretasikan sendiri oleh siswa. Satu contoh : pengalaman si Udin berkelahi dengan seorang temannya setidaknya akan Udin interpretasikan bahwa temannya itu “tidak baik”, tetapi Udin (dan temannya) akan segera menginterpretasikan “baik” jika guru berhasil memotivasi keduanya untuk memiliki "data-data baik". Semakin banyak “data” yang dimiliki oleh siswa, maka semakin piawai mereka membentuk sebuah "konstruksi" bangunan kesimpulan.
Semoga pembelajaran dapat berlangsung dan dikembangkan atas dasar kemampuan siswa. Keberagaman talenta yang dimiliki siswa (peserta didik) - sebagaimana tercontohkan dalam bag.1 artikel ini - tidak lagi menjadi sasaran perilaku sistem yang diskriminatif. Harus lekat di hati para pelaksana proses pendidikan : semua anak berpotensi handal! Sangat luas untuk dijabarkan.
Sahabatku para guru dan perancang kurikulum, we have to be the agents of our NKRI’s change! Maka marilah kita camkan : proses didik yang berlangkah awal dan berjalan dengan menyenangkan akan membawa proses itu ke langkah akhir yang juga menyenangkan. Langkah akhir (boleh dibaca: ujian), yang ibarat betapa susahnya berjalan melewati pematang sawah yang sempit, para peserta ujian akan dengan tangkas melewatinya dan tidak akan tercebur ke sawah. Namun, ibarat semudah berjalan di tanah lapang pun, oleh UN berformat sebagaimana saat ini, banyak di antara anak bangsa yang akan dilemparkan ke dalam jurang yang beradanun jauh di sana.
Lalu bagaimana dengan nasib UN? Kontrol kualitas tidak tepat melalui kebijakan UN saat ini! UN kita metamorfosiskan menjadi semacam test diagnostik, sebagai kontrol kualitas pelaksana proses didik. Jika test diagnostik dirancang dengan cerdas dan dengan tujuan mulia, maka pihak sekolah pasti akan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab! Dan yang terpenting : metamorfosis UN itu tidak akan menyangkali potensi handal ciptaan Ilahi.
Inilah salah satu bentuk REVOLUSI CERDAS kita. Sekolah, akan benar-benar menjadi pemerdeka bangsanya.
Semoga gaung kemerdekaan di setiap HUT-NKRI mendatang tidak lagi lantang keluar dari corong peralatan audio visual semata, namun lantang keluar dari hati sanubari para pecinta negeri. Dan di ufuk cakrawala Indonesia baru nanti, gaung lantang itu kan terdengar merdu: "Kami telah mendapat anugerah warisan indah dari pendahulu kami : NKRI yang jaya! Indonesia yang mandiri!"
Hai anak bangsa, jangan sembunyikan potensi handal-muuuuuuuuuuuuu!
Semoga Tuhan memberkati kita.
Amin.
[1] Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
[2] Sulistyanto,H. & Wiyono, E.( 2008). Pengetahuan Alam Untuk SD dan MI Kelas VI, Jilid-6. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H