Mohon tunggu...
Ambae.exe
Ambae.exe Mohon Tunggu... Wiraswasta - .

Computer Application, Maintenance and Supplies

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Nganre Simangnga'jang" dan Kearifan Lokal Tau Raya Ri Loka

4 November 2018   21:22 Diperbarui: 4 November 2018   21:29 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi sebagian orang, khususnya Suku Makassar, budaya kebersamaan dan saling menghargai amatlah penting. Terbangun sejak lama melekat dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Dan dapat diyakini bahwa hal ini dimiliki pula suku lainnya di Indonesia.

Kebersamaan dalam banyak hal begitu penting dirasakan, tercipta pada beragam metode seperti gotong royong mendirikan rumah ataupun bersama-sama menanam bibit di kebun seorang warga. Dan banyak lagi yang kesemuanya terbangun sedemikian rupa tanpa menunggu balas materi layaknya kehidupan bergotong royong di kota secara umum.

Hingga kini budaya ini masih dapat kita jumpai di sebuah  daerah di pelosok Kabupaten Bantaeng, tepatnya di Kampung Loka, Desa Bonto Marannu, Kecamatan Ulu Ere. Penduduk daerah ini oleh warga Bantaeng lainnya diistilahkan "Tau Raya". Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti Orang Utara. Namun secara harfiah bermakna "Orang Kampung" dan selama beberapa dekade kerap menjadi cibiran orang kota.

Meski telah terkikis modernisasi, namun masih ada sisa goresan yang dapat kita lihat secara langsung sebagai bahan pengingat masa lalu yang kental kebersamaan. Kini disebutlah kearifan lokal yang oleh sebagian besar warga Loka lebih dikenal dengan Passamaturukang (Kebersamaan).

Contoh lain saat pesta pernikahan ataupun perkawinan berlangsung. Sebut saja sebuah pesta perkawinan yang sempat diliput AMBAE akhir pekan pertama bulan November 2018.

Tatkala mengunjungi kediaman mempelai laki-laki, disambut sejumlah anggota keluarga layaknya penjemputan ala upacara pedang pora. Berselang sekian detik saja, tetamu langsung diarahkan menuju ruang utama, disodorkan piring untuk kemudian mengisinya dengan makanan sesukanya.

Berikutnya tetamu yang sudah menyiapkan menu pilihannya diarahkan lagi untuk duduk dan menikmati makanan dimaksud. Di meja masing-masing sudah siap beragam kue pencuci mulut.

Belum juga makanan disantap, hal unik pun muncul. Pasalnya jauh berbeda dengan suasana di lingkungan perkotaan. Tuan rumah bersama para petugas makanan datang menghampiri tiap tamu. Membawa beberapa wadah berisi nasi, lauk dan sebagainya yang dimaksudkan agar tetamu bisa menambah hingga benar-benar kenyang.

Warga Suku Makassar menyebutnya "Nganre Simangnga'jang". "Nganre" diartikan makan, sedang "Simangnga'jang" butuh pemaknaan mendalam sebagai sesuatu yang berlebihan. Meski lazimnya diartikan dengan makan yang sangat banyak.

Bagi mereka yang enggan menambah pun akan larut menambah. Betapa tidak, hidangan tambahan justru lebih nikmat. Selain karena hidangan khusus seperti konro, coto, toppa' lada dan sebagainya, juga relatif lebih hangat karena baru saja diangkat dari perapian.

Terngiang di ingatan kita bagaimana jika kehidupan seperti ini berlangsung menyeluruh termasuk di kota. Hanya saja ganasnya kota semakin mengikis kebersamaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun