Mohon tunggu...
Amazia W Yudha
Amazia W Yudha Mohon Tunggu... Freelancer - 24, Female, Yogyakarta

Junior Writer

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

"Future Journalism, a Storyteller"

8 Februari 2018   21:18 Diperbarui: 12 Februari 2018   07:44 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Dunia jurnalisme, yang berkaitan erat dengan media masih akan terus berkembang mengikuti perkembangan media dan perkembangan jaman. Jurnalisme saat ini, audiens juga bisa berperan sebagai newsmakers melalui sharing di media sosial.

Berbicara tentang perkembangan media memang tidak akan ada habisnya. Media, baik itu teknologi, industri, pengguna dan semua hal yang berkaitan dengan media akan terus berkembang mengikuti kemajuan jaman. Jurnalisme -- yang juga berkaitan dengan media, pasti akan turut berkembang mengikuti perkembangan media. Jurnalisme tidak bisa stuck,diam ditempat tidak melakukan perkembangan, tidak mengikuti perkembangan media. Jurnalisme secara otomatis juga mau dan harus ikut berkembang bersama media untuk memenuhi kebutuhan manusia akan informasi.

Jurnalisme Awal

                Dalam materi Future of Journalism, jurnalisme jaman dulu bisa dibagi ke dalam 3 (tiga) bagian. Pertama adalah The Hypodermic Needle Theoryatau Teori Jarum Hipodermik. Teori yang lebih dikenal dengan nama teori peluru ini menitikberatkan pada kekuatan pengaruh media terhadap khalayak. Teori ini menjelaskan bagaimana khalayak secara pasif menerima pesan yang "disuntikkan" oleh media massa. Media massa membentuk opini media seakan-akan adalah opini publik sehingga khalayak dibuat tidak berdaya akan hal tersebut. Jurnalisme belum punya "lawan" untuk menanamkan "produknya" ke khalayak.

                Kedua, news gathering.Jurnalisme jaman dulu masih menggunakan tipe newsroom yang melibatkan reporter, kontributor daerah, kameramen, editor dan redaktur. Proses pengumpulan data menjadi sebuah berita masih harus melewati serangkaian proses gatekeeperyang ketat dari hierarki newsroom media massa.

                Ketiga, news reported.Sebuah berita bisa tidak bisa secara langsung "dilaporkan" kepada publik. Jurnalisme jaman dulu, sebuah berita dapat ditulis dan dipublikasikan kepada publik melalui proses panjang dan melalui beberapa orang. Redaktur akan "memerintah" reporter, kameramen dan kontributor untuk mencari data untuk dijadikan berita.

Reporter, kameramen dan kontributor daerah akan mencari berita secara langsung yang terjadi di lapangan atau melalui jaringan yang mereka miliki seperti public relations, professionals,warga lokal dan sebagainya. Setelah data terkumpul, jurnalis akan menyusun menjadi sebuah tulisan atau tayangan lalu memperoleh perijinan dari editor dan redaktur. Setelah proses panjang itulah sebuah berita baru bisa dipublikasikan kepada publik. Publik hanya menjadi pihak sebagai audiens, artinya hanya menerima dan bersifat pasif.

Jurnalisme Saat Ini -- Berkembang

               Jika jurnalisme pada jaman dulu "dikuasai" oleh pihak media massa, jurnalisme saat ini hal tersebut tidak berlaku lagi. Jurnalisme jaman sekarang berubah menjadi jurnalisme interaktif. Publik bisa memberikan feedbackterhadap berita yang dipublikasikan, meskipun feedbackyang diberikan belum bisa secara langsung. Publik saat ini sudah memiliki kemampuan menjadi watchdog dan bukan hanya itu, publik juga bisa menjadi newsmakers.

                Bagaimana publik bisa menjadi newsmakers?Hal ini tak lepas dari adanya perkembangan teknologi dan media sosial. Setiap orang yang bisa menggunakan teknologi, bisa memproduksi berita. Tidak perlu teknologi yang muluk-muluk,layaknya jurnalis pada umumnya (kamera high definiton, laptop/pc, dsb). Hanya perlu menggunakan smartphonedengan segala aplikasi yang disediakan. Hanya dibutuhkan kemampuan ibu jari yang mumpuni, publik dengan mudahnya bisa "mengalahkan" jurnalis. Tapi jika hanya sekedar teknologi, tak cukup kuat untuk "mengalahkan" jurnalis secara mutlak. Satu hal yang dibutuhkan adalah media sosial.

                Media sosial menjadi media yang digemari banyak orang. Semua orang menggunakan media sosial. Walaupun bukan menjadi ranah utama para jurnalis untuk menyebarkan berita, pada kenyataannya media sosial yang bisa "membungkam" media lain. Kecepatan sharedan keluasan audiens menjadi kunci mengapa media sosial bisa menang dari media lain. Tak hanya itu, media sosial juga memberikan kesempatan bagi publik (pengguna) untuk menjadi storyteller.Hal ini dikarenakan adanya konsep baru tentang sharing yang dikemukakan oleh Nicholas A. John dalam bukunya yang berjudul "The Age of Sharing" pada tahun 2017.

                Konsep sharingdisini menjelaskan bahwa adanya perubahan cara mengakses informasi. Perubahan tersebut muncul pada generasi Y yang hidupnya bertumbuh bersama media sosial. Media sosial yang "dekat" dengan publik, terutama generasi Y akhirnya memiliki kekuatan lebih daripada media lain yang dahulu digunakan oleh generasi sebelumnya. Konsep sharinglebih jelasnya adalah bahwa semua pengguna media sosial bisa membagikan apapun yang dimilikinya ke media sosial. Pengguna media sosial bisa membagikan apapun mulai dari pengalaman pribadi hingga realitas yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari.

Pengguna media sosial bisa membagikannya melalui fitur-fitur yang diberikan oleh media sosial. Jika contohnya adalah instagram, maka pengguna media sosial bisa membagikannya melalui fitur live instagram, instastoryatau hanya dengan melalui foto dan video yang diupload di akun pribadi. 

Hal ini yang menjadikan semua orang saat ini bisa menjadi storyteller.Tidak perlu dikirimkan ke redaksi media dengan melalui seleksi yang ketat, harus mengikuti kaidah jurnalistik. Hanya perlu membuka aplikasi media sosial pada smartphone,masukkan konten yang ingin dibagikan dan cerita selesai serta sudah pasti tersebarluas. Tidak dibutuhkan kemampuan jurnalistik seperti menulis, mengedit atau wawancara. Juga tentunya lebih cepat diterima banyak orang daripada melalui media mainstream yang harus melewati proses gatekeeper.

Verifikasi?tentunya memang dibutuhkan, tapi pada kenyataannya saat ini, publik tidak lagi dibebani dengan pikiran apakah konten ini benar terjadi atau tidak / layak dikonsumsi publik atau tidak. Jika konten tersebut viral di media sosial dan banyak dibicarakan oleh banyak orang sudah terbentuk mainsetbahwa konten tersebut penting untuk dibicarakan. Kenyataan lain yang terjadi adalah bahwa publik saat ini cenderung membuka media sosial untuk mencari informasi yang dibutuhkan. Tidak lagi menyalakan televisi, mendengarkan radio atau membeli koran, bahkan tidak lagi mengakses media daring. Media sosial menjadi media yang akan diakses oleh publik dalam mencari sebuah informasi.

Banyak media mainstream yang akhir-akhir ini sudah memiliki akun media sosial agar tidak semakin kalah. Tapi statusnya masih berada dibawah storyteller yang sesungguhnya hanya merupakan khalayak umum (pengguna media sosial) yang tidak memiliki kemampuan jurnalistik.  Cerita-cerita yang disebarkan oleh storytellernyatanya lebih banyak dikonsumsi oleh publik, daripada berita yang dikeluarkan oleh media mainstream.

Konsep storytelling,sudah selayaknya dilakukan pada dunia jurnalisme kedepannya. Jurnalisme harus bisa seorang storyteller yang memahami siapa audiensnya, apa yang diinginkan oleh audien.Jurnalisme sebisa mungkin memiliki kemampuan untuk menyusun cerita agar audiensmau mendengar cerita yang akan diceritakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun