Mohon tunggu...
Amatul Jannah Sosiadi
Amatul Jannah Sosiadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Strata-1 Ilmu Hukum Universitas Diponegoro

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memposisikan Peraturan Menteri dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Indonesia

28 Desember 2022   17:18 Diperbarui: 28 Desember 2022   17:24 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Lawrence M. Friedman menuturkan bahwa sistem hukum terdiri atas tiga unsur yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.[1] Tiap-tiap komponen dari sistem tersebut memiliki peran penting dalam keberjalanan suatu sistem hukum. 

Substansi sistem hukum merupakan aturan dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Struktur sistem hukum adalah berkaitan dengan aparat penegak hukum yang hadir dalam suatu masyarakat, antara lain merupakan hakim, jaksa dan polisi. 

Budaya hukum adalah menyangkut kesadaran, pandangan manusia yang berada pada suatu sistem hukum. Budaya hukum terbagi menjadi dua, yaitu budaya hukum internal dan budaya hukum eksternal. 

Budaya hukum internal adalah menyangkut pada budaya yang berlaku pada aparat penegak hukum, sementara budaya hukum eksternal adalah budaya hukum masyarakat pada umumnya.

Salah satu komponen paling penting dalam suatu substansi sistem hukum merupakan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis memiliki peran besar dalam pembentukan hukum suatu masyarakat. 

Terlebih lagi, peraturan perundang-undangan memiliki fungsi sebagai pembentuk kebiasaan masyarakat dan alat kontrol sosial (social engineering) yang dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai penguasa.[2] Maka dari itu, Indonesia sebagai salah satu negara hukum memiliki pengaturan lebih lanjut mengenai peraturan perundang-undangan.

Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat sebagai UUD NRI Tahun 1945) memberikan delegasi pengaturan kepada pemerintah untuk mengatur secara lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang. 

Seiring berkembangnya kebutuhan masyarakat dan pemerintah, perlu dibuat peraturan mengenai tertib pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan.[3] Selain dari tertib pembentukan, kebutuhan tersebut juga turut mendorong pemerintah untuk menentukan mengenai hubungan antara berbagai jenis peraturan perundang-undangan yang hadir dalam masyarakat.

Prinsip pengaturan peraturan perundang-undangan didasarkan atas 2 (dua) ketertiban, yaitu tertib dasar dan tertib pembentukan peraturan perundang-undangan.[4] Tertib dasar peraturan perundang-undangan adalah mengenai asas, jenis dan substansi materi peraturan perundang-undangan sementara tertib pembentukan peraturan perundang-undangan adalah mengenai proses formil peraturan perundang-undangan. Tertib peraturan perundang-undangan Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disingkat sebagai UU P3).

Pasal 7 UU P3 menentukan hierarki antara peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hierarki tertinggi peraturan perundang-undangan dimiliki oleh UUD NRI Tahun 1945 dan hierarki terendah pada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun hierarki yang ditentukan dalam Pasal 7 UU P3 adalah sebagai berikut:

  • UUD
  • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR)
  • Peraturan Pemerintah (PP)
  • Peraturan Presiden (Perpres)
  • Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi)
  • Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kab/Kota)

Selain daripada peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam Pasal 7 UU P3, Pasal 8 ayat 1 UU P3 mengakui keberadaan jenis peraturan perundang-undangan lain yang ditetapkan oleh (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat; (2) Dewan Perwakilan Rakyat; (3) Dewan Perwakilan Daerah; (4) Mahkamah Agung; (5) Mahkamah Konstitusi; (6) Badan Pemeriksa Keuangan; (7) Komisi Yudisial; (8) Bank Indonesia (9) Menteri; (10) badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang; (11) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (12) Gubernur; (13) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Pasal 8 ayat 2 kemudian secara lebih lanjut menentukan bahwa:

Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Tidak terakomodirnya dan terkontrolnya seluruh jenis peraturan perundang-undangan dalam UU P3 menimbulkan permasalahan dalam praktik sistem perundang-undangan Indonesia.[5] Pengakuan jenis peraturan perundang-undangan lain yang dilakukan oleh Pasal 8 UU P3 menimbulkan pertanyaan mengenai kedudukan peraturan lain dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. 

Terdapat 2 (dua) perspektif dalam percobaan untuk menjawab pertanyaan ini, yakni kelompok yang berpendapat bahwa jenis peraturan perundang-undangan lain berada sejajar dengan Peraturan Pemerintah dan kelompok yang berpendapat bahwa jenis peraturan perundang-undangan lain tidak dapat dapat disejajarkan dengan peraturan pemerintah. Terlepas dari pertentangan argumen tersebut, terdapat persetujuan bahwa jenis peraturan yang terdapat dalam Pasal 8 UU P3 berada di bawah undang-undang.

 Struktur Pemerintahan Indonesia

Salah satu cara untuk mensiasati kekosongan hukum dalam hal hierarki peraturan perundang-undangan adalah dengan melihat kedudukan hukum suatu lembaga/jabatan yang mengeluarkan suatu peraturan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dalam rangka menyelidiki posisi peraturan menteri dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia, maka perlu dipahami terlebih dahulu mengenai jabatan menteri dan tugas yang diembannya. 

Pasal 17 UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa presiden dalam menjalani jabatannya dibantu oleh menteri-menteri negara yang masing-masing membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Terlebih lagi, Pasal 3 UU 39/2008 menyatakan bahwa "Kementerian berdada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden." Oleh karena itu secara jelas terlihat bahwa posisi menteri berada di bawah presiden dan wakil presiden.

Peraturan presiden merupakan peraturan yang ditetapkan oleh presiden sebagai kekuasaan yang melekat (inherent power) dari presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan.[6] Sejalan dengan hal tersebut, peratruan menteri merupakan peraturan yang ditetapkan oleh menteri dalam rangka kekuasaan yang melekat pada jabatannya sebagai pembantu presiden. Kedua peraturan tersebut dikeluarkan sebagai manifestasi dari inherent power yang dimiliki suatu kekuasaan pemerintahan. 

Kementerian sebagai lembaga yang berada di bawah presiden dalam konteks peraturan perundang-undangan seharusnya cukup mengacu dan melaksanakan kebijakan berdasarkan ketentuan yang sudah dibuat oleh Presiden dalam PP atau Perpres.[7] Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa posisi peraturan menteri adalah berada di bawah peraturan presiden.

Menteri sebagai pembantu presiden berarti bahwa letaknya dalam hierarki peraturan perundang-undangan melekat pada presiden. Presiden memiliki kekuasaan di pusat, dan di bawahnya terdapat pemerintah daerah. Dapat disimpulkan bahwa menteri memiliki kedudukan di atas pemerintah daerah.

Tidak dimasukannya peraturan menteri ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan merupakan kemunduran dalam tata perundangan Indonesia . Peraturan menteri seyogiayanya sudah pernah diatur dalam Ketetapan MPRS/XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia di mana permen diletakkan sebagai berikut:

  • UUD NRI Tahun 1945
  • Ketetapan MPR
  • UU/Perppu
  • Kepres
  • Permen

Ketentuan ini dihapus dengan tidak dimasukannya permen dalam UU 10/2004.[8] Salah satu alasan tidak dimasukannya permen adalah adanya pertentangan dari stakeholders daerah yang menyatakan bahwa seringkali substansi permen tumpang tindih dengan perpres dan menyebabkan otonomi daerah tidak terlaksana dengan baik. Dalam beberapa kasus permen juga  "menghapus/membatalakan" perda provinsi atau perda kabupaten yang dianggap bertentangan dengan permen atau peraturan lainnya.[9]

Sitasi:

  • [1] Lawrence M. Friedman, American Law, W.W. Norton & Company, New York, London, 1984, hlm. 5-7.
  • [2] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan ke-6, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 206-208.
  • [3] Lihat pada konsideran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan-Perundang-Undangan
  • [4] Bayu Dwi Anggono, Tertib, Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan: Permasalahan dan Solusinya, 2018, Masalah-Masalah Hukum, 47, hlm. 1.
  • [5] Ibid.
  • [6] Ahmad Yani, Pembentukan Perundang-Undangan yang Respnsif: Catatan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, 2013, Jakarta, Konstitusi Press, hlm. 62 
  • [7] Ahmad Yani, Op Cit, hlm. 65.
  • [8] Ibid.
  • [9] Ibid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun