Mohon tunggu...
Anis Matta
Anis Matta Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pendidikan Gelombang Ketiga

3 Mei 2018   05:57 Diperbarui: 3 Mei 2018   12:32 2861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: Kompas.com/M Latief

Setelah dua puluh tahun Reformasi, kita mulai memasuki gelombang ketiga sejarah Indonesia, suatu teritori yang sama sekali baru. Gelombang sejarah ini terbentuk oleh berakhirnya Perang Dingin, makin pentingnya teknologi dan internet dalam kehidupan sehari-hari, dan kesedaran global citizenship. 

Dalam gelombang sejarah ini muncul pula nilai-nilai baru dalam segitiga agama, pengetahuan, dan kesejahteraan. Kita juga menyaksikan lahirnya anak-anak "native democracy", yaitu mereka yang sejak lahir menghirup udara demokrasi dan kebebasan. Bagi mereka, demokrasi adalah sesuatu yang terberi dan sudah seharusnya, bukan sesuatu yang perlu diperjuangan berdarah-darah.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Manusia Gelombang Ketiga

Setiap episode sejarah menyediakan tantangan untuk dijawab oleh manusia. Gelombang ketiga adalah tentang keterhubungan (connectedness) dan jejaring (network). Karena itu, agar bangsa ini unggul dalam persaingan global, kita perlu mengembangkan sejumlah pola pikir (mindset) yang tepat. Saya mengusulkan empat elemen yang harus ditanamkan dalam mindset manusia gelombang ketiga.

Pertama, arsitektural. Pola pikir pertama yang harus dimiliki adalah kesadaran bahwa manusia adalah subyek dan pelaku utama dalam peradaban. Sebagai pelaku utama maka manusia bertanggung jawab untuk membuat sebuah grand design, atau dalam bahasa gelombang ketiga sebuah operating system, yang akan menjadi platform untuk segala aktivitas kehidupan. Kemampuan imaji dan desain ini mirip dengan kemampuan seorang arsitek yang harus mengimajinasikan dan membayangkan desain dari sebuah bangunan yang asalnya tidak ada menjadi ada sekaligus merespon ruang yang terhampar di hadapannya; sebuah kemampuan penciptaan.

Kedua, fungsional. Setelah proses imaji dan desain, langkah selanjutnya adalah mewujudkannya. Proses pemwujudan ini bergantung pada kemampuan kita untuk menilik segala yang ada disekitar kita sebagai kesempatan dan sumber daya yang dapat difungsikan untuk mewujudkan desain itu. Kita selalu mencari fungsi dan faedah dari apapun yang ada di sekitar kita.

Ketiga, eksperimental. Sifat utama gelombang ketiga adalah meningkatnya konektivitas dan cepatnya perubahan yang terjadi. Tingginya kompleksitas dan perubahan yang sangat cepat berimplikasi sulitnya melakukan prediksi dan betapa setiap solusi yang ditemukan memiliki waktu kadaluwarsa sangat pendek. Akibatnya, mau tidak mau kita harus memiliki pola pikir yang selalu terbuka dan berani mengambil risiko. Berani mengakui keterbatasan intuisi dan mengakui setiap solusi sifatnya temporer.  Kita harus membuat eksperimentasi menjadi default.

Terakhir, kreatif. Adakalanya jalan buntu tetap menghadang meskipun segala daya upaya telah dikerahkan. Pada situasi seperti ini, hal yang akan menyelamatkan kita adalah kreativitas. Kreativitas adalah kemampuan untuk memulai ketika yang lainnya terhenti. Pada era konektivitas tinggi ini kita perlu mendefinisikan ulang arti kreativitas. Biasanya kreativitas dianggap sebagai hasil dari intuisi jenius dari individu yang terisolasi. Dalam gelombang ketiga, kreativitas adalah kemampuan menggabungkan hal-hal yang sudah ada sebelumnya menjadi sebuah entitas baru. Konektivitas menjadi sumber kreativitas.

Itulah arah baru dunia pendidikan Indonesia. Keempat elemen pola pikir itu perlu dikembangkan dalam lingkungan pendidikan kita. Tentu kita juga membutuhkan budaya pendidikan baru yang menempatkan manusia sebagai sentral. Sejumlah kejadian yang merendahkan murid dan memperlakukannya bukan sebagai manusia sentral dalam pendidikan membutuhkan penanganan yang tepat. Afirmasi 20 persen APBN ke sektor pendidikan harus menghasilkan suatu generasi yang unggul, bukan habis diserap oleh relung-relung birokrasi pendidikan.

Ketika pendidikan kita berhasil menghasilkan manusia dengan pola pikir dan orientasi peradaban, itulah modal penting Indonesia layak menjadi salah satu kekuatan utama dunia. (Selesai)

~ Anis Matta, pemerhati bidang sosial dan politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun