Amerika kehilangan legitimasi di Eropa. Ini tampak dari sikap beberapa negara, salah satunya Kanselir Jerman Angela Merkel yang dengan tegas menyatakan sudah waktunya Barat tidak lagi tergantung pada kepemimpinan Paman Sam. Di dalam negeri, Amerika tidak bisa melakukan konsolidasi elite untuk melakukan agenda-agenda besar.
Kembali ke Ghost Fleet, buku ini bisa dibaca sebagai warningdan provokasi agar Amerika segera melakukan interupsi ketika masih dalam posisi unggul. Ada pihak yang tidak menginginkan Amerika nantinya harus masuk ke suatu konflik---bahkan perang---yang tak mungkin dimenangkannya.
Masalah di Tiongkok
Dengan segala glorifikasi sebagai keajaiban ekonomi dari timur, Tiongkok bukan tanpa masalah. Setelah mencapai puncak pertumbuhan ekonomi 14,2 persen pada 2007, mulai 2015 hingga sekarang angka pertumbuhan Tiongkok selalu di bawah 7 persen dengan tren menurun.
Negeri Panda ini belum mendapat momentum lagi untuk menggenjot roda perekonomiannya. Padahal, dalam bahasa yang sederhana, tidak mudah memberi makan sekitar 1,4 miliar manusia. Konsekuensi dari perlambatan ekonomi adalah menurunnya penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan sehingga ancaman revolusi sosial terus membayangi negeri itu.
Masalah kesenjangan ekonomi pun semakin banyak ditulis oleh media internasional. Pada akhir 2016, Forbes mengutip penelitian dari Nanjing Agricultural University, menggambarkan Tiongkok yang terbagi dua: tujuh provinsi pesisir, yaitu Shanghai, Tianjin, Jiangsu, Zhejiang, Guangdong, Shandong, and Fujian serta bagian Inner Mongolia adalah daerah berpendapatan tinggi; sementara daerah lain di pedalaman adalah daerah berpendapatan rendah.
Pendapatan per kapita di daerah pedalaman hanya 60 persen dari mereka yang tinggal di daerah kaya. Tak heran ada yang menyebut, kota-kota pesisir yang berkilau seperti Shanghai, Guangzhou atau Shenzhen tak ubahnya ruang tamu yang indah untuk menyembunyikan ruang dalam yang sederhana.
Namun, Presiden Xi Jinping lebih mampu melakukan konsolidasi ke dalam, terutama setelah konstitusi negeri itu menghapus masa jabatan presiden. Ia tidak memiliki masalah legitimasi kepemimpinan dan konsolidasi elite seperti yang dihadapi Trump. Â Xi juga lebih mampu mengendalikan masyarakat sipil untuk konsolidasi agenda-agenda besar.
Konsolidasi kekuatan militer tampak dari belanja persenjataan yang terus naik. Data resmi menunjukkan pada 2016 belanja militer Tiongkok USD 146 miliar (Rp 1.900 triliun), naik 11 persen dari USD 131 miliard pada 2014. Angka ini menempatkan Tiongkok sebagai nomor dua persis di bawah AS. Dari sisi industri pertahanan pun Tiongkok telah menjadi eksportir senjata terbesar nomor tiga dunia, memasok persenjataan ke 35 negara dengan pembelian signifikan dari Pakistan, Bangladesh, dan Myanmar.
Dalam perspektif kritis, agenda Xi memperkuat militer juga bertujuan mengantisipasi kemungkinan terjadinya pembelahan sosial yang tidak terkendali. Konsolidasi elite juga dilakukan dengan memberangus lawan-lawan politiknya melalui isu pemberantasan korupsi.
Tiongkok dengan cerdas memanfaatkan hamparan kontinen Asia untuk memperkuat posisi geopolitiknya melalui pembangunan jalan dan rel kereta serta jalur pipa gas. Belajar dari Barat, Tiongkok juga memperkuat dominasinya dengan membentuk lembaga keuangan raksasa Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dengan 67 negara anggota, termasuk sejumlah negara Eropa seperti Belanda, Swiss, Jerman dan Israel.