Dunia masih dalam proses menuju pemulihan secara global akibat wabah Covid 19 yang merajalela di seluruh dunia. Wabah yang tidak hanya memaksa warga dunia beradaptasi menuju peradaban baru namun juga menyerang perekonomian dunia dan melumpuhkan berbagai industri yang dulu berjaya seperti manufaktur, penerbangan, hospitality dan pariwisata.
Industri yang menyerap banyak tenaga kerja ini dipaksa stagnan. Melambatnya roda ekonomi menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan, kekurangan bahan pangan, mahalnya berbgagai kebutuhan pokok dan pertumbuhan ekonomi terhambat.
Ketika wabah akhirnya teratasi dan kita bersiap kembali berlari, konflik Rusia Ukraina menciptakan masalah baru. Banyak negara mengalami krisis energi akibat berkurangnya pasokan minyak dan gas.
Blokade ekonomi Eropa atas Rusia sejatinya merugikan kedua belah pihak juga. Di berbagai negara Eropa kelangkaan energi menyebabkan harga BBM dan listrik tinggi dan mencipta inflasi.
Sebagai global village, hamper semua negara termasuk Indonesia pun terancam resesi. Kita pun terimbas langka dan naiknya harga BBM yang menyebabkan inflasi dan mengancam terjadinya resesi.
Kita tahu bahwa energi merupakan salah satu komponen utama pembentuk ongkos produksi pada industri. Kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi yang menyebabkan harga barang konsumsi naik, sementara pendapatan kita tetap bahkan banyak yang turun, membuat daya beli masyarakat makin lemah. Belum lagi faktor ekonomi lainnya seperti kenaikan suku bunga. Ini sungguh bahaya.
Melalui momentum Presidensi G20 2022 bertema “Recover Together Recover Stronger” dimana Indonesia berperan penting sebagai pemegang Presidensi diharapkan mampu menciptakan banyak solusi untuk pemulihan ekonomi pasca pandemic dan membantu mengurai benang kusut konflik Rusia-Ukraina agar segera terselesaikan.
Salah satu agenda prioritas jalur keuangan dalam Presidensi G20 Indonesia 2022 adalah sustainable finance yang membahas risiko iklim dan risiko transisi menuju ekonomi rendah karbon dan sustainable finance (keuangan berkelanjutan) dari sudut pandang makroekonomi dan stabilitas keuangan ( www.bi.go.id ).
Termasuk pembahasan peningkatan penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil yang merusak lingkungan dan meningkatkan efek rumah kaca yang memperparah perubahan iklim dunia yang berpotensi menyebabkan kacaunya iklim yang berpengaruh pada banyaknya bencana alama, mengancam krisis pangan dunia akibat gagal panen terutama pada negara berkembang yang masih mengandalkan alam dalam pertanian sehingga bisa menyebabkan bahaya kelaparan sebagaimana yang telah diramalkan banyak ahli selama ini.
Pemerintah telah bergerak mengadaptasi ekonomi hijau sebagai kunci pertumbuhan ekonomo dengan tetap mempertahankan kelestarian lingkungan dan pelibatan masyarakat setempat.