Ah, hampir lupa. Badui tidak mau menerima tamu bule, tionghoa, juga Arab. Hanya ras mongoloid Indonesia pribumi yang diperbolehkan, tak peduli suku Jawa, Batak, Bugis, Sasak dll. Agama pengunjung tak dipermasalahkan. Kenapa ada larangan bagi ras tertentu untuk masuk? Mungkin dulu mengantisipasi serangan masa penjajahan Belanda. Karena saat saya tanyakan tak satupun dari mereka yang mau menjawabnya. Ya..mari kita terima saja. Kita kan bertamu di sini, maka harus menghargai tuan rumah.
[caption caption="cantik kan tempatnya? (foto by Shita R)"]
Perkampungan luar teduh,..banyak pohon besar rimbun di sepanjang jalan yang membuat adem selama berjalan. Jalan setapak pun dibangun dengan batu-batu sehingga lebih nyaman ditapaki terutama saat hujan untuk menghindari terpeleset. Sepanjang perjalanan kami bertemu binatang-binatang yang sudah jarang ditemukan di kota. Terutama kaki seribu! Besar-besar gemuk, diam melingkar, banyak ditemukan di sepanjang jalan. Angin berdesau ditingkahi cericit suara burung berkicau di atas pohon. Sesekali perjalanan diselingi bunyi air beriak dari sungai dan kita sedikit tertatih-tatih ketika meniti jembatan bambu, sambil menahan ngeri-ngeri sedap, takut jatuh ke sungai.
[caption caption="aslinya takut-takut (foto by Shita R)"]
Perjalanan mulai menyiksa saat perkampungan Badui Luar mulai habis. Jalanan makin mengecil dan berupa jalan tanah. Hujan yang turun berkali-kali membuat keadaan makin parah. Tak semua peserta siap dengan sepatu bergerigi besar. Berkali-kali harus terdiam sebentar mengusap keringat yang mengalir deras dan menata kembali nafas yang tersengal-sengal. Apalagi ketika jalanan mulai makin menanjak, makin licin, makin banyak tenaga yang harus dikerahkan untuk mendaki gunung dan membelah bukit ala Nobita.#halaah…. Untunglah kami membawa porter, para ABG dan lelaki dewasa Badui Dalam. Mereka mencari tambahan penghasilan sebagai porter dan navigator, selain pekerjaan utama berladang.
Dengan enteng mereka melenggang sepanjang medan dengan backpacker kami yang berat penuh muatan. Saya tak bisa membayangkan jika harus memanggul sendiri beban tas punggung itu, mending balik badan dan pulang. Dua anggota komunitas pingsan selama perjalanan dan terpaksa diistirahatkan kembali ke perkampungan Badui Luar.
Kami harus berkejaran dengan waktu, jam 5 harus sudah sampai di perkampungan Badui Dalam karena takkan ada penerangan sepanjang jalan. Kaki dipaksa mengangkat, mengurangi jarak menuju tujuan. Hati dipaksa untuk tetap semangat, mengingat takkan ada lagi pilihan, selain terus maju jalan. Saya tak tahu, ide kepala suku yang mana dulu, yang mengajak mereka menetap di tempat yang begitu susah dicapai.
Kok tak pakai motor atau mobil biar cepat jalannya? Oh ya,…segala gadget dan peralatan produk kota dilarang digunakan di sini karena signal hape juga blank. Yah lebih baik begitu, sesekali mari puasa smartphone. Banyak penjual minuman menanti sepanjang jalan, tahu bahwa kami akan butuh minuman botol segar. Sepertinya bukan penduduk badui Luar ataupun Dalam jika dilihat dari baju dan ciri fisiknya.
Sampailah kami di tanjakan cinta. Kenapa disebut demikian? Mungkin, karena butuh tekad yang kuat dan penuh cintalah kita bisa menyelesaikan perjalanan menju Badui Dalam. Saya dan Sang Porter, Arjun sudah seperti sepasang kekasih, mesra hehe..sepanjang jalan curam itu Arjun sabar menahan beban tubuh saya agar tak jatuh tergelincir. Tangan saya tak henti berpegangan mengingat licin dan beratnya medan. Arjun bercerita jika ia memiliki seorang dua kakak perempuan yang sudah menikah dan adik yang lebih kecil darinya.
[caption caption="Bersama anak-anak badui yang kulitnya bersih-bersih (foto by Shita)"]
Meskipun tak pakai KB, rata-rata anak tiap keluarga Badui tak lebih dari empat anak. Arjun bisa membaca dan menulis diajari penduduk pendatang di luar kampung melalui koran, majalah, bungkus makanan, bungkus rokok dll. Arjun berusia 15 tahun, ia sudah memiliki rumah di kebun, kami sempat mampir. Tak banyak isinya hanya sepasang pakaian yang dipakai ganti, tungku, periuk, keranjang, sabit dan makanan ternak karena ia punya kerbau. Orang Badui melarang memelihara kambing. “Tapi saya tak tahu alasannya apa.”
Kata Arjun mengendikkan bahu. Tak sedikitpun nafasnya tersengal-sengal sementara saya sudah terpeleset tiga kali. Arjun menyuguhi kami setandan pisang emas dari hasil kebunnya yang langsung tandas dibagi pada anggota. Entah kenapa ini pisang lebih enak dari yang biasa dibeli di Jakarta. Mungkin karena tanahnya terjaga dari bahan kimia. Sambil makan kami ngobrol.
“Untuk apa uang yang kamu dapat sebagai porter, Arjun?”
“Buat beli beras, dibawa ke ibu. Supaya seluruh anggota keluarga bisa makan. Karena tidak setiap saat kami bisa panen beras.”
Ya, rata-rata keluarga Arjun hanya makan dua kali sehari, dengan menu yang sederhana. Nasi, sayur dan ikan asin. Seringnya begitu. Mereka bertanam padi dengan system lading, mengandalkan air hujan
. Baru bisa panen sekitar 4-6 bulan. Maka untuk memenuhi kebutuhan makan, anak-anak tiap hari jadi porter. Tap mereka anak-anak yang baik. Tidak usil atau cari kesempatan membobol tas. Sopan. Barang yang kami amanahkan terjaga baik. Begitu lelah hilang, perjalanan dilanjutkan menuju tempat penginapan.