[caption caption="foto by Shita Rahutomo"][/caption]
"It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent but the one most responsive to change" by Charles Darwin
Selintas mungkin hasil pemikiran Darwin ini tak berhubungan dengan perubahan sosial dalam masyarakat Badui. Yang satu tentang kepulauan Galapagos yang lain terpencil di pegunungan Kanekes terpisah ribuan kilometer. Namun kita harus mencermati, ada benang merah di antara keduanya, tentang keberlangsungan hidup mahluk hidup dalam menghadapi segala tantangannya.
Seperti kita tahu, masyarakat Badui menolak perubahan nilai. Karena beranggapan, dengan tetap mempertahankan tradisilah, mereka akan tetap menghormati para sesepuh dan mampu bertahan hidup. Namun tak dapat dipungkiri jika kedatangan para wisatawan dan kehadiran masyarakat pendatang sekitar, sedikit banyak akan mempengaruhi keberlangsungan hidup masyarakatnya.
Ditinjau dari sejarahnya, Suku Badui memang tercipta dari penolakan mereka terhadap penguasaan Kesultanan Demak yang berhasil mengalahkan Kerajaan Pajajaran. Dikabarkan para pengikut Prabu Siliwangi ini mengungsi ke daerah terpencil di wilayah Banten (saat ini) demi menjaga keaslian kepercayaan dan budayanya. Dan nilai ini dilestarikan secara turun temurun kepada anak cucunya.
Seperti yang kita ketahui, masyarakat Badui terbagi atas dua bagian, Badui Luar yang moderat dan Badui Dalam yang konservatif, menolak segala nilai-nilai dari luar, meski secara diam-diam sebagian anggota masyarakatnya mulai menerima nilai-nilai perubahan dari luar masyarakatnya, berusaha secara sembunyi-sembunyi mengikuti perkembangan jaman.
Meskipun perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Badui terkesan lambat, bahkan terbilang stagnan namun banyak factor dari luar lingkungan komunitas, yang harus diperhitungkan sebagai kekuatan laten untuk keniscayaan sebuah perubahan bagi masyarakat Badui seperti kebiasaan yang dibawa para pengunjung. Saya begitu penasaran ingin mengintip sedikit kehidupan masyarakat Badui akhirnya terpenuhi juga keinginan itu melalui perjalanan open trip bersama rombongan komunitas pecinta sejarah dan budaya.
[caption caption="sebelum menempuh perjalanan 6 jam ke Badui dalam (Foto by Shita)"]
Menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam dari Jakarta dengan menggunakan kereta api jurusan Tanah Abang–Rangkasbitung lalu disambung dengan naik mobil minivan elf yang dipaksa memuat hingga 20-30 penumpang, sehingga kami berdesak-desakan dalam mobil bagai ikan pindang sarden, bahkan sebagian ada yang memilih naik ke atap Elf selama perjalanan menuju pegunungan Kanekes, tempat perkampungan Badui berada. Walaupun ngeri dengan keselamatan para teman yang nekat duduk di atap, yah, berusaha memaklumi…..namanya juga anak muda, wajarlah jika mereka mencari sensasi dari angin yang menerpa wajahnya selama perjalanan. #eaaa….
Perjalanan yang melelahkan dan melalui beberapa jalan berlubang akhirnya sampai di perkampungan Badui. Disambut oleh patung tiga petani Badui, sebelum memasuki wilayah Badui Dalam, kami istirahat melepas penat di rumah Pak Sarpin sang tetua adat, makan siang sambil berkenalan dengan penduduk setempat.
Di sepanjang jalan menuju ke Badui Dalam, banyak rumah-rumah penduduk (Badui Luar) yang menjajakan kerajinan khas Badui seperti batik cantik berwarna biru hitam yang saya tak tahu namanya, berharga antara 100 sampai 300 ribu perlembarnya. Ada juga madu botolan, kalung dan gelang manik-manik, keranjang akar, akar wangi, juga ikat kepala khas Badui. Bagi pecinta durian, ada beberapa rumah yang menjual dan memajangnya, terlihat menggiurkan di depan rumah tradisionalnya.Â
Meskipun belum melihat adanya televisi di dalam rumah, tapi anak-anak Badui Luar terutama ABG prianya sudah berpakaian ala ‘orang kota.’ Mereka menggunakan celana panjang denim, kaos warna mencolok bahkan memakai kaca mata hitam! Sementara para gadis masih setia menggunakan baju kurung putih sederhana yang menandakan status mereka sebagai perempuan lajang dan menggunakan hiasan kalung cantik dari manik-manik. Rata-rata perempuan Badui cantik-cantik, ramah, murah senyum. Kulitnya bersih, meski tanpa make-up, badannya langsing-langsing karena melakukan pekerjaan rumah sendiri tanpa pembantu dan makanannya masih alami, dan jauh dari yang berkolesterol tinggi.
Para ibu-ibu muda dengan pakaian tradisionalnya mejeng di depan rumah sambil menenun kain menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Satu lembar kain bisa menghabiskan waktu satu hingga tiga bulan pengerjaan tergantung tingkat kerumitan pola kain. Serat-serat benang itu dihitung jumlahnya, dipilih-pilih masuk lubang mesin sesuai pola yang diinginkan, ditarik, dikencangkan, dirapikan, lalu berganti pola. Sumpah! Itu butuh ketelitian, kesabaran, dan kecintaan pada pekerjaan dan sepasang mata yang sehat! Kalau saya yang harus mengerjakannya, mungkin selesai satu kain saja, mata saya langsung minus tiga hehe… I can’t imagine! Untunglah, tak satupun dari mereka yang berkacamata.
Kain yang sudah jadi mereka pajang di depan rumah agar bisa dipilih para wisatawan sebagai buah tangan. Satu lembar kain tenun cantik berbagai corak itu berharga antara 150- 300 ribu. Kalau melihat betapa rumitnya proses penciptaan kain, wajarlah jika mereka memasang harga itu. Ada baiknya kita beli, untuk membantu perekonomian mereka.