Tari kecak membutuhkan banyak sekali penari. Mereka harus bekerjasama dalam menyajikan tarian. Dalam tarian ini digambarkan Shinta dan Rama yang diasingkan ke hutan oleh ibu tirinya hidup bahagia didampingi adik lelakinya Lasmana. Suatu hari, seekor kijang cantik berlari-lari menggoda Shinta. Shinta lalu merayu sang suami untuk menangkap kijang itu untuknya. Demi rasa cinta pada istrinya, Rama akhirnya memutuskan untuk menangkap sang kijang namun sebelumnya ia berpesan pada Shinta untuk tetap di rumah, dipagari oleh kekuatan doa yang dimantrakan Rama. Sepeninggal Rama Shinta merasa sedih dan kuatir karena Rama tak kunjung pulang. Ia lalu mendesak Laksmana untuk mencari kakaknya. Sepeninggal Laksmana, Shinta diculik oleh Rahwana yang memang telah lama mengejar, ingin memiliki Dewi Shinta. Akhirnya ia menculik Dewi Shinta dari rumahnya dan Sang Jatayu yang melihat tragedi penculikan itu berusaha melepaskan Dewi Shinta dari kejamnya Rahwana. Tapi Jatayu kalah tanding melawan Rahwana. Setelah bertahun-tahun disekap Rahwana, Hanoman membantu memberikan cincin Rama untuk Shinta sebagai perlambang ia baik-baik saja. Maka terjadilah peristiwa Hanoman Obong yang membumihanguskan istana Rahwana. Singkat cerita, Rahwana akhirnya kalah melawan Rama dan Shinta akhirnya berkumpul lagi dengan suaminya.
Setelah sendratari Ramayana, penampilan ke dua adalah tari Sang Hyang Jaran, di mana sang penari mengalami trash atau kesurupan lalu bermain api. Sang penari menginjak-injak api, menendang-nendang api yang panas bahkan memakan bara api. Tari inilah yang membuat para penonton tercekam. Beberapa kali penari kuda lumping menendang bara api yang berasal dari sabut kelapa. Orang-orang bergidik ngeri.
Para penari dalam tari ini adalah orang-orang yang berdedikasi. Mereka menari karena mereka cinta menari meski bayaran tidak seberapa. Tapi kekuatan cinta itulah yang membuat para penari tetap menari sepenuh hati. Cinta pada tarinya, cinta pada tanah airnya, karena tarian kecak merupakan tarian rasa terima kasih kepada alam yang telah memberikan kehidupan pada manusia. Pak Ketut, yang menyajikan tarian Sang Hyang Jaran, telah menari semenjak kelas dua SMP hingga saat ini. Ia selalu berusaha untuk selalu berinovasi, ingin selalu menyajikan tarian yang jauh lebih baik dari waktu ke waktu agar tetap banyak pengunjung yang datang menyaksikan tarian mereka.
Seperti Made Wulan, pelajar kelas 2 SMP ini telah belajar menari sejak ia kelas 2 SD. Dalam seminggu Wulan bisa pentas 4 kali. Jika ia sedang ulangan, Wulan akan membawa buku pelajarannya ke tempat pentas. Ketika bersiap-siap dan berdandan ia akan melakukannya sambil belajar. Yang membuat salut adalah,... disaat sanggar lain "menjual" para penarinya ketika berpose dengan pengunjung, sanggar batu bulan Gianyar menawarkan piring cenderamata yang dijual kepada para pengunjung yang berfoto bersama penarinya, namun tanpa bersikap memaksa. Begitulah seharusnya hidup,.. tetap memiliki harga diri yang tak bisa ditukar dengan lembaran rupiah.
"Setiap pekerjaan pasti ada resikonya. Tapi saya mencintai pekerjaan saya sebagai penari." Demikian Pak Wayan berkisah. Meski honor menari tak banyak, meski resiko tangan melepuh terkena bara selalu terjadi tapi ia akan tetap menari sampai tak mampu lagi. Itulah passion,...bagian dari cinta terhadap pekerjaan. Baju tarinya yang mulai lusuh, manik-manik di leher yang mulai lepas dan kusam, tapi ia,... tetap bersemangat menari.
Setelah menikmati tarian kecak kami kembali ke Seminyak. Sebelumnya, kami berhenti untuk makan malam di sebuah warung makan bernama Nasi Pedas, sepertinya sudah terkenal, karena rasanya yang memang pedaaaas,.....!! Setelah kenyang ya,... tidur! Kegiatan paling tepat setelah perjalanan panjang yang melelahkan adalah berbaring di kasur yang empuk dan nyaman dengan lampu redup dan atmosfer yang sunyi seperti di Courtyard Marriot Seminyak. Tak berapa lama kemudian kutelah lelap dalam mimpi.
[caption caption="by shita rahutomo"]
Eksplorasi hari ke dua menuju Goa Gajah di desa Beda Hulu. Disebut Goa Gajah karena ada patung Ganecha (gajah) yang merupakan penjelmaan Dewa Pengetahuan. Uang tiket hanya Rp 20.000,00 saja perorang. Ingat, perempuan sedang datang bulan dilarang memasuki puri. Kita pun harus memakai kain saat ke pura untuk menjaga kesopanan.
Pak Made, sang guide mengajak kami berkeliling. Terdapat reruntuhan bangunan pintu gerbang yang kini menjadi batu-batu berserak tak beraturan. Terjadi gempa bumi pada tahun 1925 yang membuat bangunan pintu gerbang runtuh. Di sana kita bisa melihat petirtaan tempat Raja Udayana dan Ratu Mahendradatta bertapa. Tempat pemandian merupakan bagian tak terpisahkan dari peribadatan agama Hindu, karena air merupakan perlambang penyucian diri.
Ah,..saya sudah lelah. Lain waktu kita sambung cerita lagi dengan kisah-kisah yang lebih menarik dan inspiratif. Demikianlah kunjungan para kompasioner ke Bali dalam rangka Blogtrip Pesona Budaya di Bali. Sampai ketemu di lain waktu!