Begitu banyak tempat wisata di Indonesia ini yang menarik untuk dikunjungi. Baik dari segi keindahan alam berupa wisata bahari, eco resort maupun wisata budayanya. Semuanya menjadi Pesona Indonesia yang tinggal menunggu kesempatan dan biaya untuk dikunjungi. Sudah lama saya ingin sekali mengunjungi Museum Ulen Sentalu setelah melihat sepupu mengupload fotonya pas berkunjung ke Ulen Sentalu. Bangunan itu seperti punya jiwa, punya ciri tersendiri, ada aura magis di dalamnya. Ketika akhirnya berkesempatan berlibur ke Yogya, Ulen Sentalu langsung masuk prioritas untuk dikunjungi.
Dari Kaliurang meskipun ada petunjuk arah tapi tidak terlalu jelas arahnya. Beberapa kali harus menggunakan sistem GPS (Gunakan Penduduk Sekitar) untuk menentukan lokasi tepatnya. Terletak di tempat agak terpencil, menjorok ke dalam bukitt dengan banyak pohon-pohon besar di depannya membuat museum ini tak terlalu terlihat dari jalan besar. Hari Minggu, pengunjung padat. Setelah membeli tiket seharga Rp 30.000 untuk dewasa dan Rp 20.000 untuk anak-anak (lumayan mahal untuk tiket museum pada umumnya) kami menunggu hingga jumlah rombongan 25 orang yang dipandu seorang Guide sebagai penyampai informasi.
Kami dilarang membuat dokumentasi, dengan alasan ruang-ruang yang sering difoto akan berkurang auranya. Sayang sekali. Ruang pertama adalah sebuah aula yang dilengkapi sebuah meja besar yang di atasnya sudah tersusun gelas-gelas berisi ramuan yang beraroma jahe, kapulaga dan gula jawa. Guide mempersilahkan kami menikmatinya satu persatu. Konon katanya, minuman rempah yang rasanya mirip wedang serbat itu merupakan resep rahasia awet muda hasil rajikan sendiri Gusti Nurul, kembangnya Keraton Solo paa masa itu. Gusti Nurul memang panjang umur dan saat ini tinggal di bandung alam usia di atas 90 tahun. Beliau masih terlihat jelas gurat-gurat kecantikannya saat kami melihat fotonya yang terpampang di lorong ruang menuju ruang museum selanjutnya.
Raja Mangkunegoroo VIII adalah raja yang berpikiran maju dan mengikuti perkembangan jaman. Ketika saat itu penduduk Jawa masih tanpa alas kaki, para puteri keraton yang cantik-cantik itu sudah menggunakan sepatu high heels yang didatangkan khusus dari butik-butik kelas atas di Belanda. Raja yang terkenal sebagai raja paling kaya raya ini adalah pembeli mobil Mercedes Benz yang pertama di Indonesia dengan plat nomer yang dipesan khusus. Tetapi bukan hanya dalam hal gaya hidup, raja adalah seorang yang dermawan. Beliau menyumbangkan tanahnya yang sekarang kita kenal sebagai alun-alun Sri Wedari dan sebuah rumah sakit besar untuk menunjang kesehatan rakyat.
Museum Ulen Sentalu memang didirikan oleh keturunan Keraton Mangkunegaran, karena itu isi museum ini lebih banyak bercerita tentang keluarga keraton Solo. Museum ini bertujuan untuk menyimpan batik-batik kuno warisan keluarga kerajaan yang saat ini pasti harganya puluhan hingga ratusan juta. Batik-batik tua dipajang dengan cantik dan dijaga pada suhu tertentu dan dijaga kelembabannya agar tidak merusak kualitas kain. Kita bisa mengetahui betapa pentingnya batik dalam kehidupan masyarakat Jawa.Beberapa kebaya beludru dari jaman dulu juga masih terpajang rapi. Bordiran warna emas di pinggiran kebaya saat itu benar-benar dibuat dari benang emas sehingga terasa berat. Kancingnya pun terbuat dari emas, atau mutiara atau batu-batu permata. Dibuat dari kain beludru yang didatangkan khusus dari Perancis begitupun sepatu yang dipakai paraputeri merupakan keluaran butik-butik mahal di Paris. Benar-benar gaya hidup yang mahal.
Dari lahir sampai mati, batik memegang peranan penting dalam hidup manusia Jawa. Ketika lahir, sudah disiapkan batik untuk membedongnya, ketika sakit orang menggunakan batik tambal, yang menggunakan banyak motif seperti kain yang ditambal-tambal dengan harapan si sakit cepat sembuh. Ketika dilamar seorang gadis akan mendapat satu batik yang akan ia simpan hingga ajal tiba, sebagai penutup jasadnya kelak. Batik Parang Barong, Parang Kesumo, Parang rusak khusus digunakan oleh keluarga kerajaan. Namun pada tahun 1950-an Raja mengeluarkan maklumat yang membolehkan rakyat biasa menggunakan motif parang khusus untuk acara resmi, asal bukan Parang Barong yang bermotif besar-besar khusus dipakai Raja.
Batik sidomukti dipakai untuk acara pernikahan karena diharapkan pasangan pengantin akan mendapat kamulyan, derajat hidup yang tinggi dan rumah tangga yang bahagia sejahtera. Batik truntum dibuat berdasar motif bunga melati, dibuat berulang. Begitupun batik ceplok piring yang motifnya bulat-bulat berulang biasanya dibuat para puteri raja. Dahulu, para pangeran keraton Solo yang disiapkan untuk menjadi penerus raja harus mampu menciptakan minimal satu motif batik baru sebagai pengembangan batik yang sudah ada. Sementara Raja Yogyakarta harus mampu menciptakan satu motif batik dan satu jenis tarian baru sebagai bukti bahwa raja cukup cakap dan cerdas untuk menjaga negara.
Gusti Nurul memegang peran penting di museum ini. Bahkan ada satu ruangan khusus yang dipersembahkan untuk menyimpan koleksi Gusti Nurul. Foto-foto Gusti Nurul dari ia masih anak-anak, yang sudah terlihat kecantikan dan keanggunannya hingga sudah berusia lanjut. Foto ketika beliau, sebagai gadis remaja menarikan tari bedoyo dalam rangka ulang tahun Ratu Belanda dan diabadikan oleh sebuah koran besar di Belanda ada di sini. Selain cantik, Gusti Nurul seorang perempuan cerdas. Ia bisa memainkan piano, menulis puisi dan artikel. Di sini juga disimpan beberapa kebaya Gusti Nurul, yang menurut berita sempat ditaksir oleh Presiden Sukarno dan dilamar sebagai istri. Namun Gusti Nurul sudah memiliki pilihan hati sendiri, seorang perwira TNI yang akhirnya cerita cinta mereka berakhir indah di pelaminan, sang suami membawa Gusti Nurul tinggal di Bandung.
Ah,... ada cerita romantis di balik sepasang batik motif ceplok yang dipajang. Batik itu dibuat sendiri oleh Sang Raja Mangkunogoro VIII untuk Sang Permaisuri, Gusti Ratu Ayu, sebagai pertanda cinta seorang suami kepada istrinya. Gusti Ratu Ayu merupakan seorang istri yang selalu setia mendampingi tugas suami dan juga cerdas, karena beliau rajin menyumbang pikiran dan menjadi teman diskusi bagi sang raja dalam mengatasi permasalahan rakyat. Gusti Ratu Ayu juga tak segan-segan menyamar menjadi rakyat biasa untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya dari masyarakat yang dipimpinnya.Â