Mohon tunggu...
Shita Rahmawati Rahutomo
Shita Rahmawati Rahutomo Mohon Tunggu... Penulis - Corporate Communication, Corporate Secretary, Public Relation, ex jurnalis, akademisi, penulis, blogger, reviewer.

a.k.a Shita Rahmawati or Shita Rahmawati Rahutomo, corporate communication, public relation, officer, penulis, gila baca, traveler, blogger, cooking addicted, dreamer, social voluntary, akademisi, BRIN Awardee.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Senangnya Membawa Anak Mendaki Gunung

20 Januari 2016   08:13 Diperbarui: 4 April 2017   16:49 1414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak saya masih kuliah, beberapa abad yang lalu (saking sudah lamanya) saya sudah bercita-cita bahwa suatu saat saya akan membawa anak-anak saya camping dan mendaki gunung mengingat hobi ibunya memang menjelajah alam. Ingin sekali berbagi perasaan nikmatnya melihat golden sunrise sambil memandang cantiknya awan bergelombang bertengger dengan anggunnya di puncak gunung. Indah sekali.

Saat yang saya nanti-nantikan akhirnya tiba. Saat liburan akhir tahun selama seminggu lebih tiba, kami memutuskan untuk mendaki Gunung Sikunir di wilayah Dataran Tinggi Dieng. Mengapa Gunung Sikunir? Sebagai pemula dan masih anak-anak pula tentu harus diukur tingkat kemampuan si anak. Jangan sampai fisiknya kaget dan kelelahan. Dan Gunung Sikunir adalah tempat yang sempurna untuk menjalankan misi anak mendaki gunung.

Persiapan pun dimulai. Terutama fisiknya. Setiap pagi setelah salat Subuh, kami jalan-jalan keliling komplek untuk membiasakan anak banyak bergerak. Itu masih ditambah mereka bermain sepeda di sore hari. Vitamin untuk daya tahan tubuh juga sudah dikonsumsi beberapa hari menjelang pendakian agar tubuh fit. Termasuk juga menyortir makanan yang dikonsumsi harus sehat!

Persiapan dari segi pakaian dan perlengkapan

1. Jaket parasut, karena hangat di dalam, ringan, dan tidak menyerap air (karena udara pegunungan dingin dan basah).

2. Tas backpacker yang baik kualitasnya, kalau bisa yang bahannya ringan, kuat dan memakai bantalan bahu sehingga nyaman dipakai. Eiger, Navy, trigger cocok untuk mendaki (bukan promosi ya) tapi North Face juga bagus cuma mihil pisan

3. Coklat, madu, permen, atau gula merah di samping makanan yang bisa langsung dikonsumsi seperti roti isi.

4. Syal, jas hujan, kaus tangan dan topi untuk menahan dingin dan senter gunung. Bagus lagi yang bisa diikat di kepala.

5. Sepatu kets yang tapakannya kasar dan dalam, untuk menghindari selip dan bahannya yang ringan dan ada sirkulasi udara.

6. Air mineral, minuman isotonik juga bagus. Jangan bawa kopi kaleng ya. Bawa plastik keresek untuk menyimpan sampah.

7. Bawa obat-obat sederhana, jika diperlukan bawa tabung oksigen yang kecil.

 

Sudah semua?

Baiklah... mari mendaki. Naik... naik... ke puncak gunung... tinggi... tinggi sekali...!

Karena musim liburan perjalanan menuju Puncak Dieng alamaaaak..... macetnya. Dalam kondisi jalan mendaki, mobil harus selalu main rem dan kopling. Bau kopling bergesekan yang seperti bau karet terbakar memenuhi kabin mobil. AC harus dimatikan supaya bisa melewati tanjakan ekstrem dengan kecepatan rendah. Padahal kami sudah berangkat pagiiii sekali ternyata lalu lintas sudah padat. Akhirnya... setelah dua kali istirahat untuk meredakan ketegangan pak sopir yang tegangan tinggi, didera rasa lapar dan menghindarkan mobil overheat, perjalanan sampai ke kawasan wisata Candi Dieng ditempuh dalam waktu 4 jam. Kapok! Tidak akan ke Dieng pas puncak liburan.

Banyak orang menyewakan rumah untuk beristirahat sebelum melakukan pendakian. Sewa untuk satu rumah selama satu malam berkisar 250-500 ribu tergantung besar kecilnya rumah dan sedang puncak liburan atau sedang sepi juga turut menentukan harga. Kami mendapat rumah bertingkat dua. Besar dan bersih. Dilengkapi pemanas air di kamar mandi, kompor gas jika ingin makan atau membuat kopi atau susu hangat dan kasurnya lumayan bagus, bukan kasur per abal-abal. Worth it lah kalau menurut saya.

Pemilik rumah, sepasang suami-istri yang masih muda dengan satu anak. Cukup takjub di usia yang lebih muda dari kami (ehemmm...) sudah memiliki rumah yang besar dengan selera yang bagus. Ternyata si istri seorang penjual alat-alat rumah tangga dengan sistem kredit. Dan wallpaper mereka yang terpasang itu (kebayang dooong di desa mereka sudah pakai wallpaper) mereka peroleh dari berburu di Magelang dan Jogja pada toko yang cuci gudang atau barang lama yang tak terjual. Keduanya ramah. Sementara anak-anak tidur, kami banyak mengobrol. Suguhan teh jahe yang mengepul hangat dan kentang bakar melengkapi obrolan malam yang gayeng. Itulah perjalanan, membuat kita banyak melakukan refleksi diri, memperoleh wawasan baru dan tambah sahabat.

Pukul dua dini hari kami berangkat menuju lokasi pendakian menggunakan mobil. Banyak sekali mobil yang berencana mendaki malam itu rupanya. Jadi suasananya akan padat sepertinya. Anak-anak dengan antusias mengikuti segala instruksi dengan semangat.

Jalur pendakian cukup mudah dilalui karena sudah dibuatkan anak tangga. Namun karena ada tebing-tebing, penerangannya kurang dan lalu lintas manusia yang padat kami harus tetap mengawasi anak-anak dengan seksama. Berkali-kali harus memperingatkan anak-anak untuk berjalan satu jalur agat tak bertabrakan dengan orang yang turun. Keringat mulai bercucuran, napas mulai ngos-ngosan. Untuk menghindari pening kepala, bernapaslah dengan hidung meskipun bernapas dengan mulut lebih mudah dilakukan. Pakailah penutup muka untuk menghindari debu yang beterbangan. Minumlah yang sering, sedikit-sedikit untuk menghindari dehidrasi. Sangat dianjurkan memakai sarung tangan untuk menghindari dingin yang membuat tangan serasa beku.

Butuh 1,5 jam menuju puncak Si Kunir. Sesampai di atas meski sempat kesulitan, kami akhirnya mendapat spot untuk menunggu matahari muncul dari balik gunung. Jangan lupa, luruskan kaki agar peredaran darah tetap lancar. Beberapa gerombolan anak muda mengeluarkan suara-suara yang bersahut-sahutan seperti saat siamang sedang ingin mengundang betinanya bercinta. Cukup menggangu suasana sebenarnya. Tapi tak perlu meributkan hal kecil yang mengganggu tujuan yang lebih besar bukan? 

Aku pandang wajah anak-anakku. Entah mengapa rasa haru tiba-tiba menyeruak ke dalam dada. Udara dingin yang menggigit terkalahkan oleh rasa hangat di dada. "Kalian suka?"

Mereka mengangguk, "Ya!"

"Mau lagi mendaki gunung sama Mama?"

"Iya, iya....yang lebih tinggi ya!"

"Ini Indonesiamu, tanah airmu. Kalian kelak yang harus menjaganya. Jadilah orang yang baik. Yang bermanfaat buat sesama. jaga baik-baik negaramu ya, Nak...!"  Saya bukan ibu yang sempurna tapi berusaha menjadi ibu yang baik semampu saya.

Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu tiba. Semburat merah jingga keemasan memenuhi sisi timur langit. Pelan-pelan tapi pasti muncullah Sang Bagaskara bulat kuning keemasan mencuat dari balik awan dengan malu-malu. Sedikit demi sedikit. Beberapa puncak gunung lainnya terlihat berdiri kokoh dari segala penjuru. Merapi, Merbabu, Perahu, dan entah apalagi. Begitu indah. Sayang cuaca mendung jadi pemandangan tidak begitu jernih tertangkap kamera. Tapi mata ini, mata mereka, akan mengirimkan memori peristiwa indah ini ke otak dengan sempurna berikut segala detil kecilnya. Tersimpan tak lekang oleh waktu hingga habis waktuku nanti.

Bergenggaman tangan kami menikmati momen ini. So spechless so priceless. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun