Â
Sudah semua?
Baiklah... mari mendaki. Naik... naik... ke puncak gunung... tinggi... tinggi sekali...!
Karena musim liburan perjalanan menuju Puncak Dieng alamaaaak..... macetnya. Dalam kondisi jalan mendaki, mobil harus selalu main rem dan kopling. Bau kopling bergesekan yang seperti bau karet terbakar memenuhi kabin mobil. AC harus dimatikan supaya bisa melewati tanjakan ekstrem dengan kecepatan rendah. Padahal kami sudah berangkat pagiiii sekali ternyata lalu lintas sudah padat. Akhirnya... setelah dua kali istirahat untuk meredakan ketegangan pak sopir yang tegangan tinggi, didera rasa lapar dan menghindarkan mobil overheat, perjalanan sampai ke kawasan wisata Candi Dieng ditempuh dalam waktu 4 jam. Kapok! Tidak akan ke Dieng pas puncak liburan.
Banyak orang menyewakan rumah untuk beristirahat sebelum melakukan pendakian. Sewa untuk satu rumah selama satu malam berkisar 250-500 ribu tergantung besar kecilnya rumah dan sedang puncak liburan atau sedang sepi juga turut menentukan harga. Kami mendapat rumah bertingkat dua. Besar dan bersih. Dilengkapi pemanas air di kamar mandi, kompor gas jika ingin makan atau membuat kopi atau susu hangat dan kasurnya lumayan bagus, bukan kasur per abal-abal. Worth it lah kalau menurut saya.
Pemilik rumah, sepasang suami-istri yang masih muda dengan satu anak. Cukup takjub di usia yang lebih muda dari kami (ehemmm...) sudah memiliki rumah yang besar dengan selera yang bagus. Ternyata si istri seorang penjual alat-alat rumah tangga dengan sistem kredit. Dan wallpaper mereka yang terpasang itu (kebayang dooong di desa mereka sudah pakai wallpaper) mereka peroleh dari berburu di Magelang dan Jogja pada toko yang cuci gudang atau barang lama yang tak terjual. Keduanya ramah. Sementara anak-anak tidur, kami banyak mengobrol. Suguhan teh jahe yang mengepul hangat dan kentang bakar melengkapi obrolan malam yang gayeng. Itulah perjalanan, membuat kita banyak melakukan refleksi diri, memperoleh wawasan baru dan tambah sahabat.
Jalur pendakian cukup mudah dilalui karena sudah dibuatkan anak tangga. Namun karena ada tebing-tebing, penerangannya kurang dan lalu lintas manusia yang padat kami harus tetap mengawasi anak-anak dengan seksama. Berkali-kali harus memperingatkan anak-anak untuk berjalan satu jalur agat tak bertabrakan dengan orang yang turun. Keringat mulai bercucuran, napas mulai ngos-ngosan. Untuk menghindari pening kepala, bernapaslah dengan hidung meskipun bernapas dengan mulut lebih mudah dilakukan. Pakailah penutup muka untuk menghindari debu yang beterbangan. Minumlah yang sering, sedikit-sedikit untuk menghindari dehidrasi. Sangat dianjurkan memakai sarung tangan untuk menghindari dingin yang membuat tangan serasa beku.
Butuh 1,5 jam menuju puncak Si Kunir. Sesampai di atas meski sempat kesulitan, kami akhirnya mendapat spot untuk menunggu matahari muncul dari balik gunung. Jangan lupa, luruskan kaki agar peredaran darah tetap lancar. Beberapa gerombolan anak muda mengeluarkan suara-suara yang bersahut-sahutan seperti saat siamang sedang ingin mengundang betinanya bercinta. Cukup menggangu suasana sebenarnya. Tapi tak perlu meributkan hal kecil yang mengganggu tujuan yang lebih besar bukan?Â
Aku pandang wajah anak-anakku. Entah mengapa rasa haru tiba-tiba menyeruak ke dalam dada. Udara dingin yang menggigit terkalahkan oleh rasa hangat di dada. "Kalian suka?"
Mereka mengangguk, "Ya!"