[caption caption="by shita"][/caption]
Sudah lama saya ingiiin sekali mengunjungi kawasan Badui. Istilah Badui sebenarnya mengacu dari bahasa arab, yang artinya orang pedalaman, atau penduduk desa. Penasaran dengan legenda keberadaan mereka, yang memilih menyingkir dari tlatah Pasundan demi rasa setia pada junjungannya Maharaja Pasundan, Prabu Siliwangi yang dikalahkan Kesultanan Demak.Konon, mereka menolak masuk Islam dan memilih tetap mengikuti aliran kepercayaannya.
Para abdi yang setia ini memilih menyingkir, melarikan diri menuju tlatah Banten agar tak terkejar pasukan Demak. Maka mereka memilih tinggal di hutan-hutan yang masih jarang manusianya. Saya memilih mengikuti sebuah open trip, yang dengan mudah kita temui di internet. Tapi jika ingin yang terpercaya pilihlah yang direkomendasikan teman yang sudah menggunakan jasanya dalam memandu. Dari kantor, 3 orang memutuskan pergi bersama, Marwan, saya, Iras dan Hafizah. Memang kami-kami ini doyan berkeliling dan menjelajah. Tiap orang dikenakan tarif Rp 350.000, sudah termasuk ongkos transportasi pp dari Jakarta, dimulai di Stasiun Tanah Abang sampai Pandeglang dan perjalanan ke desa wisatanya.
Pukul 07.00 pagi kami sepakat bertemu di stasiun lalu panitia membagikan sarapan sederhana dan gorengan dan memberi tanda pita sebagai bagian dari rombongan. Banyak juga rombongan kami sekitar 20 orang dengan berbagai rentang usia, dari anak SMP sampai kakek-nenek pensiunan yang masih terlihat bugar fisiknya, Pak Made, pensiunan Angkatan Laut. Ooh..pantas.
Jangan lupa menyiapkan KTP, karena perjalanan ke pandeglang masuk perjalanan antar kota, jadi pasti nama yang tertera di tiket harus sama persis dengan yang ada di KTP. Seorang rombongan sempat lama ditahan di pemeriksaan tiket karena ia tidak bawa KTP. Kok bisa? Ingat ya,..kemana-mana kita pergi harus bawa KTP karena itu menunjukkan identitas diri kita. Perjalanan dengan kereta memakan waktu 2 jam. Biaya tiket kereta seingat saya sekitar Rp 15.000,00. Begitu sampai di Stasiun Pandeglang, perjalanan dilanjutkan dengan menaiki mobil sewaan, Isuzu Elf yang bisa mengangkut banyak penumpang, irit dan mudah melintasi medan karena jalan menanjak terus karena menuju wilayah pegunungan.
sekitar 2 jam kami berada di Elf. Banyak sekali jalan rusak dan berlubang di wilayah Propinsi Banten ini. Mungkin terkait dengan penyelewengan dana pembangunan oleh penguasa daerah yang sempat heboh kasusnya di KPK sebagai "keluarga yang tak tersentuh." Maklum, kita tahu, wilayah Banten terkenal dengan ilmu tak kasat mata.
[caption caption="by shita"]
Maka sampailah kami di gerbang perbatasan permukiman penduduk setempat dengan wilayah Badui dan langsung disambut para porter cilik yang dengan ramah menawarkan jasa mengangkut barang. "Kalian tidak sekolah?" tanya saya. Semua menggeleng. Jadi aktivitas harian mereka memang mencari nafkah dengan menjadi porter untuk membantu keluarganya. Nama mereka keren-keren loh. Arjun, Rendy, Mario dan ah,..saya lupa yang lainnya. Soal nama mereka up to date, melihat tayangan film-film di televisi yang banyak dimiliki penduduk sekitar pemukiman. Tapi orang Badui Dalam patuh peraturan loh. Mereka tidak mau memegang kamera karena bukan produk lokalnya. Penduduk memintal sendiri bajunya, tapi kalau saya lihat sudah mulai ada yang memakai baju buatan pabrik tekstil. Bajunya warna hitam atau putih. Buntalan yang mereka bawa itu menjadi tas mereka, tanpa jahitan. Waktu ditanya, "kalian bisa baca gak?" Serentak mengakui, mereka bisa membaca, masing-masing belajar secara diam-diam melalui bungkus-bungkus makanan, sampul majalah atau koran yang ditinggalkan pengunjung. Karena bersekolah dilarang di Badui Dalam. Orang Badui itu lugu, ramah dan tidak mata duitan. Sebagai porter mereka dengan senang hati juga membantu kita berjalan dan memegangi tangan saat jalan terjal atau licin. Karena saat ke sana turun hujan beberapa kali.
[caption caption="by shita"]
Orang Badui bukan orang yang mata duitan loh. Mereka dengan senang hati mau difoto tanpa meminta bayaran. Beda sekali saat mengunjungi wilayah suku lain di pulau seberang. Terang-terangan menyebutkan harga yang tidak murah untuk bisa berfoto bersama mereka. Semoga pemerintah melindungi kepentingan orang Badui karena kebanyakan mereka orang yang lugu, jangan sampai tanah-tanah ulayatnya nanti terampas oleh orang lain, hal yang terjadi pada suku Kubu anak dalam dan suku-suku di Papua. Orang-orang Badui juga tak akan menolak makanan yang kita sodorkan kok.
Perjalanan di mulai. Sepanjang jalan berbatu yang kami lalui di Badui luar sesekali ditingkahi suara musik India dari radio penduduk. Badui luar lebih adaptif. Mereka memakai alat-alat teoletries seperti kita. Mencari nafkah dari menenun dan berjualan cenderamata seperti madu hutan, gelang dan kalung manik-manik, makanan dan baju dan kain-kain khas Badui. Jadi ekonomi mereka lebih sejahtera dibanding Badui Dalam.
Perjalanan di awal terasa sangat menyenangkan karena pemandangannya yang indah, pohon=pohon rimbun dan jalan datar beralas batu. Perjalanan mulai terasa menyiksa ketika jalan menanjak atau melewati ladang-ladang berlumpur. Untunglah kami memakai porter kalau tidak tak yakin sampai di atas. Seorang peserta pingsan di tengah perjalanan. yang lain terhenti sementara karena kram kaki. Memang perjalanan yang menantang. Capeeee,...heh..heh..he... apalagi saat melalui tanjakan cinta yang bersudut 85 derajat mungkin. Curam, licin, tanpa pegangan. Pakailah sepatu dengan alas grip besar agar tidak terpeleset.
Perkampungannya bersih. Jalan dibuat dari susunan batu. Di depan rumah disediakan ember bambu berisi air untuk mencuci kaki. Rumahnya kecil, dengan diameter sekitar 6x6 dibagi atas 3 atau 4 ruangan. Ruang tamu yang merangkap ruang keluarga sekaligus menjadi tempat kami makan dan tidur malam itu dan dua kamar tidur, karena rumah kami ditempati 2 keluarga. Anaknya yang sudah menikah, masih tinggal di rumah orang tuanya karena suaminya belum mampu membuat rumah baru. Jadi kamar si anak juga menjadi dapur bagi keluarga baru itu. Rumah ini sangat sederhana. Pencahayaan dari lampu minyak 1 buah, dinding terbuat dari anyaman bambu sehingga udara malam yang dingin masih masuk menerobos dalam rumah. Dapur di dalam rumah dan tanpa jendela!Inilah yang menyebabkan banyak penduduk Badui menderita ISPA karena asap berputar-putar di dalam rumah. (Pernah membaca artikelnya di Kompas Minggu). Satu lagi, tak ada toilet di rumah. Jika kebelet pipis atau ingin BAB harus segera menuju sungai yang jaraknya lumayan dari rumah. Dalam keremangan malam yang mencekam. Repooot...!!
Pagi itu setelah sarapan, kami pamitan kembali pulang. Kembali menuju realitas hidup. Pengalaman tinggal di perkampungan Badui ini menambah rasa syukur tentang hidup yang penuh kemudahan yang kami miliki. "Aku jadi merindukan kamar kos-ku. Biarpun tidak mewah tapi nyaman dan bersih. Hidup itu memang harus penuh bersyukur ya..." kata Hafizah yang cantik.
[caption caption="by shita"]
Yah,..itulah manfaat menjelajah. Membuat kita memiliki pengalaman baru, menambah pertemanan, meluaskan wawasan dan orang yang telah mengelanan ke banyak tempat akan lebih bijak menjalani hidup. Aaamiin. Semoga. salam petualang!
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H