Mohon tunggu...
Shita Rahmawati Rahutomo
Shita Rahmawati Rahutomo Mohon Tunggu... Penulis - Corporate Communication, Corporate Secretary, Public Relation, ex jurnalis, akademisi, penulis, blogger, reviewer.

a.k.a Shita Rahmawati or Shita Rahmawati Rahutomo, corporate communication, public relation, officer, penulis, gila baca, traveler, blogger, cooking addicted, dreamer, social voluntary, akademisi, BRIN Awardee.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Galau Sang Guru (Refleksi UN yang Acak Adut)

17 April 2015   11:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:59 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum membaca tulisan ini tolong sadari saya bukan guru yang sangaaat idealis. Saya bukanlah guru yang mulia, yang mendarmabaktikan hidup seutuhnya buat memajukan pendidikan bangsa hingga melupakan kehidupan sendiri, keluarga dan sosialisasi dengan sesama, sesama manusia maksudnya. Bukan lelembut bukan juga binatang atau sekedar teman maya yang ga jelas identitasnya. Tapi masihlah kami punya hati nurani dan tetap memikirkan nasib bangsa dan generasi muda Indonesia. #ceileh..

Makin hari, saya kok merasa pendidikan di Indonesia ini makin merosot mutunya. Kita berkutat pada nilai,..nilai..dan nilai. Okelah..rangking mungkin sudah dihilangkan dari sistem, tapi secara bisik-bisik saat terima raport orang tua tetap saja menuntut guru membisik siapa peringkat 1, 2, 3...dan terakhir di kelas. Saat tahu anaknya rangking 1 si ibu akan kembang kempis hidungnya, saat tahu anaknya rangking terakhir,..ya...biasanya ia akan denial, melakukan pembelaan diri, menanyakan mengapa tak ada juga kemajuan yang didapat anaknya padahal ia  sudah bayar mahal untuk les tambahan, untuk beli buku,..memberi motivasi dan bla..bla..bla.. oahem....bosen dengernya. Bu, kadang bukan salah sampeyan kalau anak anda berada di peringkat terakhir. Terlalu banyak faktor berperan. Meski tidak bodoh, jika si anak punya rasa malas tingkat dewa hingga tak pernah belajar atau tak mengerjakan PR atau tugas atau di kelas cuma tidur, datang sekedar sebuah syarat agar memenuhi syarat bisa ikut ujian ya mau bagaimana lagi?

Waktu saya kecil, tak ada penentuan nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) agar seorang anak naik kelas atau tidak. Itu cuma sebuah formalitas yang tak mempengaruhi nasib si anak. Contohnya begini, jika guru menetapkan KKM 7.0 maka semua anak harus melewati nilai 7.0 baru ia lolos naik kelas. Itu kriterianya. Itu teorinya. Tapi kenyataannya tetap saja ada anak-anak oknum pelaku pelanggaran KKM yang mereka tak pernah mengerjakan tugas dan mengerjakan UTS (Ujian Tengah Semester) dan UAS (Ujian Akhir Semester) asal-asalan. Lalu guru, dengan seluruh dilema hati nurani pada akhirnya harus memberinya nilai sesuai KKM agar seluruh anak naik kelas. Ini menyangkut nasib banyak orang. Nama baik sekolah, kepalanya, kejelasan nasib dan status guru itu di sekolah, nama orang tua si anak, pukulan bagi harga diri anak dan bla..bla..bla... Kalau dipikir, apa salahnya sesekali anak gagal agar ia belajar dari pengalaman, menjadi cambuk untuk hidup yang lebih baik?

Jaman doeloe, saya biasa melihat ada teman 1 atau 2 anak tak naik kelas karena ia memang belum mampu untuk naik kelas. Tapi sekarang mana pernah kita dengar lagi anak yang tidak naik kelas? Semua anak melewati tahun-tahun sekolahnya mulus-mulus saja, sesuai standar bahwa SD harus 6 tahun, smp 3 tahun dan sma 3 tahun juga. Betapa mudah ditebak, betapa membosankan. Padahal Agnes bilang life is never flat...

Standar tak tertulis, semua anak harus naik kelas dan harus meraih KKM ini sudah berlaku pada semua sekolah, negeri dan swasta. Saat berjumpa dengan para guru, di sanalah semua keluh kesah ini terburai. Jika anak tak pernah merasakan kegagalan, lalu darimana ia belajar arti kesabaran, perjuangan, empati dan  kesuksesan? Lalu pada umur berapa ia harus belajar bahwa hidup memiliki banyak ujian, yang cara menyelesaikannya tergantung pada besarnya usahanya? Karena sudah merasa yakin ia akan naik kelas,.. anak sering menyepelekan pelajaran, tak hormat pada guru, tak mengerjakan PR. Jika guru tak lagi memegang otoritas di kelas,...maka hancurlah dunia...

Mendengar banyaknya kasus bocornya soal UN SMA yang baru saja berakhir, lagi-lagi guru hanya bisa mengelus dada. Setiap kali mau menghadapi UN,  anak-anak memang bukan semua, tapi banyak yang sibuk kasak-kusuk cari bocoran soal. Banyak cerita soal mencari bocoran ini. Ada yang pagi-pagi jam 5 subuh kumpul di kuburan demi bocoran kunci jawaban seharga 500 ribu. Yang memprihatinkan, makin ke sini, makinlah murah harga tidakan curang ini. Saat ini cuma 50 ribu! MasyaAllah.... Bahkan berita terakhir menyebutkan bocoran UN itu disebarluaskan secara gratis di internet melalui dropbox dan bbm oleh barisan orang-orang yang sakit hati yang gagal mendapat keuntungan dari proyek K13 pada Anies Baswedan yang memutuskan meninggalkan Kurikulum 13. Benar tidaknya wallahualam bissowab.

Tahun ini, bocoran soal UN ini diprediksi sudah beredar seminggu sebelum UN. Beberapa murid mendapatkan soal ini dari temannya, tapi para guru meminta mereka untuk tidak mempercayai soal itu. "Ah,..jebakan itu nak. Jangan dipercaya. Tetaplah belajar yang rajin. Fokus..! Mereka sih nurut. Lebih percaya pada soal-soal prediksi yang dikeluarkan penerbitan. Tapi begitu UN...Blarrr..........!!! Tak satupun yang keluar sesuai prediksi. Justru setelah ditelaah, ujian try out DKI Jakarta malah mirip dengan soal UN hanya ganti angka. Kabarnya, dari 6 mata pelajaran SMA yang di UN kan, 5 mapel sudah bocor duluan. Kalau sudah begini...Pening pala Barbie..

Duh Gusti,..ketika pendidikan bangsa ini dipertaruhkan oleh orang-orang yang egois demi kepentingan pribadi. Lalu bagaimana nasib bangsa ini ke depan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun