Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

SBY Lakukan Counter Attack, Sikap Jokowi dan Politik Game Over

28 September 2022   15:28 Diperbarui: 28 September 2022   16:53 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


PRESIDEN Jokowi masih kokoh mengatur kekuatan politik, hal itu tidak bisa disangkal. Termasuk dalam urusan mengutak-atik konstelasi Pilpres dan Pemilu 2024. Orkestasi kekuatan tersebut dapat didemonstrasikan Jokowi. Terbukti soliditas Kabinet masih terjaga. Lembaga DPR RI, satu frekuensi selaras dengan kepentingan Jokowi.

Sederhananya hasil Pilpres 2024 kelak tergantung pada Jokowi. Ketika orang nomor satu di Indonesia berambisi mempertahankan kekuatan, pasti dapat dilakukan. Bahkan untuk mencari ''stuntman'' dari dirinya agar tetap mengendalikan Indonesia di masa yang akan datang, dapat dilakukannya dengan mudah dan terorganisir.

Bagaimana tidak, kombinasi kekuatan politik masih dikendalikan pemerintahan Jokowi. Partai besar seperti PDI-P, Partai Gerindra, Golkar, NasDem, PKB, PPP, PAN, berada dalam rangkulan Jokowi. Hanya PKS yang mengambil sikap tegas oposisi secara politik. Ditambah Partai Demokrat.

Skema oposisi PKS dan Partai Demokrat terhadap pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin, tidak berakhir disitu. Dua parpol ini terpotret akan menggagas koalisi untuk Pilpres 2024. Berpotensi NasDem akan menjadi lokomotif koalisi yang menyambungkan kepentingan PKS dan Partai Demokrat.

Jika tiga parpol itu menyatu, maka pasangan Capres yang diusung adalah Anies-AHY. Struktur koalisi model ini tetap akan dieliminir kekuatannya melalui rivalitas politik. Lalu dimana kehebatan Jokowi?. Secara kasat mata, Jokowi punya beberapa punggawa. Diantaranya LBP dan Megawati.

Dengan posisinya sebagai Presiden Jokowi dapat mengendalikan instrumen kekuasaan. Komisi Pemberantasan Korupsi, TNI, Polri, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Mahkamah Konstitusi, hingga Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu), nafasnya ada di genggaman Jokowi. Mau bersikap otoriter atau lunak, semua bisa dilakukan Jokowi.

Apa yang dicemaskan SBY dalam pidato politiknya, bahwa ada indikasi skenario dua pasang calon Presiden boleh saja benar. Apapun lebih dan kurangnya SBY, beliau merupakan Presiden Republik Indonesia 2 periode. Bukan orang baru di kancah politik. Artinya, SBY tengah melakukan gerakan counter attack.

Bukan sekedar membongkar design politik yang disiapkan pihak yang disebut oligarki. Lebih dari itu, SBY tengah membuat simulasi. Memukul belukar untuk melihat makhluk apa yang keluar di sela-sela belukar tersebut. Politik pra kondisi telah dilakukan. Ini pure adu strategi. Soal efek yang ditimbulkan, SBY telah mengantisipasi itu.

Sekencang apapun gelombang hantaman dari pihak oposan terhadap barisan politik Jokowi, kekuatan 95% memenangkan Pilpres 2024 masih berada di genggaman Jokowi. SBY mengerti betul bagaimana kemudahan seorang Presiden menjaga kekuatan, melakukan maintenance terhadap gerbong.

Berbagi tugas, gotong royong untuk menang. Bahkan untuk mematahkan kekuatan lawan. Itu sebabnya, sejak dini di tahun 2022 dipilih sebagai momentum tepat untuk dibunyikan alarm. Bahwa ada dugaan skenario hanya ada dua pasang Capres 2024 nanti. Dengan begitu, publik akan menjadi waspada.

Opini publik terbentuk. Lantas, kelompok oligarki akan dituduh tengah membangun konspirasi jahat. Memukul figur Capres tertentu secara politik, agar kekuatan oligarki tetap paten dan lestari dalam periode kekuasaan yang akan datang. Konsekuensinya, publik akan menciptakan jarak dengan kekuasaan. Guna mengamankan kepentingannya, maka Jokowi harus hati-hati dan bersikap mau berdamai.

Jokowi akan lebih banyak bersikap kompromis di ujung pemerintahannya. Sebab dalam hitung-hitungan politiknya, ia tak mau dicatat sebagai Presiden yang bernasib buruk. Yang kelak ketika tidak lagi memimpin skandalnya diubar-ubar ke publik. Kenyamanan privasinya diusik.

Walaupun, publik tau kelompok Jokowi punya kartu joker untuk menghadapi SBY. Kasus korupsi century akan menjadi alat sandera bagi SBY. Jika kencang, SBY ''melawan takluk'', sudah pasti kasus yang merugikan negara sebesar Rp. 689,39 miliar dan Rp 6,76 triliun, akan diangkat lagi. Pasti booming di media massa.

Jokowi melalui LBP dapat mengkondisikan, membuat jinak Airlangga Hartarto dan Zulkifly Hasan. Ketika kepentingan Megawati Soekarno putri untuk mendorong Puan Maharani sebagai Capres atau Cawapres 2024 terakomodir, Megawati diprediksi akan total berjuang bersama Jokowi. Tidak akan ada pecah kongsi.

Secara garis besar, Jokowi tak mau perahu koalisi besar yang dipimpinnya pecah. Meski dari sikapnya, Jokowi terbaca lebih menyukai Ganjar Pranowo, Erick Thohir, dan Sandiaga Uno. Ketimbang Puan Maraharani. Situasi politik melilitnya, yang mendesak Jokowi harus memilih Puan Maharani.

SBY lakukan serangan balik atas skema poros koalisi yang merugikan Partai Demokrat. Dimana ada kesan, posisi mitra koalisi SBY akan dikunci. Semuanya akan diambil alih pihak oligarki. Sehingga hanya meninggalkan Partai Demokrat dan PKS, resikonya kedua parpol ini tidak dapat mencalonkan jagoannya di Pilpres.

Dengan terjadinya ''gempa politik'' di internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Suharso diguncang menandakan PPP tengah ditarik kembali pihak Istana. Keberadaan PPP akan dibuat makin jauh dari Anies Baswedan. Sepenuhnya langkah elit PPP akan mengikuti dimana saja kemauan Istana.

Terakhir, harapan satu-satunya SBY adalah pada Surya Paloh, Ketum NasDem dan Ahmad Syaikhu, Presiden PKS. Ketika SBY terus mendapat serangan, mengalami kelelahan, maka konstruksi koalisi yang melahirkan dua pasangan Capres akan terwujud. Dan itulah boneka-boneka oligarki.

Calon Presiden yang digemari, mendapat dukungan luas di tengah rakyat boleh jadi tidak lolos. Karena semua bergantung di tangan elit parpol, yang kalau kita tarik berkolerasi dengan selera Jokowi. Tergantung Jokowi, jika menghendaki empat pasangan calon Presiden atau tiga pasangan, itu bisa terjadi.

Termasuk dalam wawancara salah satu stasiun TV, di YouTube, Surya Paloh memprediksi lebih dari dua calon Presiden boleh jadi sebagai hanya sekedar harapan pribadi. Dari sisi politis, Surya Palo telah mengetahui komitmen dan konsesi politik yang dibangun para elit parpol di republik ini.

Mereka para elit parpol pasti tak mau dituding pro oligarki, sehingga akan melahirkan argumentasi yang beragam. Yang berbasis demokrasi. Yang lahir di media massa ialah kamuflase politik. Sekiranya harapan-harapan pribadi dari elit parpol tersebut membuahkan hasil. Lahirlah lebih dari dua pasangan calon Presiden.

Skenario dua calon Presiden tentu hanya akan menguntungkan oligarki dan bandar-bandar politik. Bukan untuk kesejahteraan rakyat. Dua paket calon secara nyata mereduksi, membunuh demokrasi jauh-jauh hari. Ini bertanda demokrasi kita dibuat mati muda ''prematur''. Rakyat lagi-lagi didzalimi.

Lalu kalau begitu, apa bedanya kita dengan era orde baru?. Rasanya tidak ada kebebasan berdemokrasi lagi. Yang memasung kebebasan tersebut adalah para elit partai politik. Ini sangat kejam. Untuk itu, rakyat harus diedukasi agar tidak lagi mempercayai omongan kamuflase para elit partai politik.

Terutama elit parpol yang memiliki suara di parlemen (DPR RI periode 2019-2024). Kenapa SBY seperti cemas?, karena beliau pernah berada diposisi Jokowi sekarang. Ketika SBY melakukan serangan balik atas dugaan skenario dua pasangan calon Presiden di Pilpres 2024, yang secara nyata mengalienasi kekuatan SBY.

Mungkinkah, Jokowi berdiam diri?. Pasti tidak. Kubu Jokowi mulai berang. Hasto, Sekjen DPP PDI-P secara lantang merespon pernyataan SBY. Walau Jokowi terlihat tenang, masih fokus menjalankan program pemerintahan, skakmat terhadap manuver SBY begitu dimengerti Jokowi.

Pasti ada waktunya SBY dibuat diam. Dan Jokowi tengah menunggu momentum itu tiba. Atau Jokowi sedang menyiapkan momentum untuk mengunci SBY.

Kini gilirannya Jokowi mengunci SBY di Pilpres 2024. Adu strategi ini akan mereka lakukan jelang penetapan calon Presiden dan calon Wakil Presiden sebelum secara resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jegal-menjegal juga berkecenderungan terjadi. Semua akan berharap menang bertarung.

Tidak dalam hal ''underestimate'' kekuatan politik lainnya, tapi membaca kekuatan mengendalikan dan mengkapitalisasi kemenangan politik, Presiden Jokowi masih memiliki peluang itu. Kemenangan pertama nanti kita akan melihat dari berapa banyak pasangan calon Presiden di Pilpres 2024 mendatang.

Substansi demokrasi yang tereduksi, jika kelak Pilpres 2024 hanya diramaikan dua pasangan calon. Karena kondisi tersebut menempatkan kemanangan awal oligarki telah terjadi. Alhasil, proses pencobolasi suara, hingga rekapituasi hasil suara hanyalah menjadi semacam formalitas. Kemenangan telah ditentukan, dan diketahui sebelumnya.

Tak boleh ngotot-ngototan, harus ada pihak yang tampil sebagai negarawan. Sebab, antara SBY dan Jokowi merupakan generasi terbaik. Ketika tak ketemu relasi kepentingannya, Jokowi bisa membuat langkah politik SBY menjadi game over. 

Seperti itupun sebaliknya. Ketika Jokowi gegabah tidak cermat membaca sikon politik, maka Pilpres 2024 menjadi peristiwa kelam dalam kiprah politik Jokowi dan keluarganya. Sikap legowo dan mau memikirkan rakyatlah yang kita harapkan itu dimiliki SBY dan Jokowi agar membangun rekonsiliasi politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun