Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Matahari Intelektual

22 September 2022   11:06 Diperbarui: 22 September 2022   14:18 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CAK NUR, begitu Nurcholis Madjid kerap disapa, ibarat matahari intelektual dan perpustakaan berjalan. Kecerdasannya menyengat banyak anak-anak muda Indonesia. Aku juga bermimpi menjadi matahari intelektual. Biar bermanfaat bagi peradaban. Tidak dilupakan.

Kejujuran, kejernihan intelektual, dilengkapi keberanian yang penting menjadi modal. Biarlah, jika publik atau segelintir orang salah kapra. Yang kemudian melahirkan polemik dan kontroversi.

Menjadi cendekiawan tidak mudah, harus hadir dari ekosistem intelektual. Konsisten, giat, mengkonsumsi banyak literatur, mampu menyederhanakan persoalan. Termasuk teori-teori yang rumit. Membiasakan diri berfikir inklusif, tidak cepat puas dengan capaian. Terus belajar.

Kita harus sadar dan meniti semua itu dari bawah. Belajar dari teks, membaca, melakukan pengayaan. Membuat simulasi, dapat beradaptasi dengan realitas. Mau bertempur di lapangan dengan dialektika sosial yang beraneka ragam. Tidak boleh menjadi intelektual kesepian. Yang berada di ruang hampa, berdiam diri.

Beronani dengan pikirannya sendiri. Lalu miskin praktek lapangan. Seorang intelektual akan diuji dengan realitas. Tidak tepat jika ia berdiam diri. Memotivasi diri, punya kompas panutan. Memiliki prinsip belajar, sekaligus memberi inspirasi bagi orang lain.

Sehingga demikian, kita menjadi tumbuh dewasa, bermoral, menjaga integritas, dan melahirkan teladan bagi publik. Minimal bagi orang-orang disekitaran kita. Bila ada kecamuk konflik, pergolakan pikiran, kita mampu menghadapi, melampawi itu. Menawarkan solusi.

Baik itu konflik pemikiran, benturan ideologi, maupun konflik kepentingan yang nyata. Konflik akademis, atau juga konflik karena diakibatkan pertarungan politik. Kaum intelektual tetap tegar, tidak tumbang dihantam ombak. Tidak mudah dibujuk rayu, lalu turun imunitas kekritisannya.

Itulah mimpiku. Mimpi yang mungkin sebagian yang lain juga mencita-citakannya. Sejauh ini masih abstrak, belum dapat dipastikan pencapaiannya. Melalui ''jalan baru'' mengembangkan literasi, menulis di kolom Kompasiana.com, mengambil bagian di kanal YouTube, TikTok menjadi ikhtiarku.

Yakinlah semua itu karya bermakna. Tidak sia-sia. Sebab, sesuatu yang tertulis akan mengabadi. Tidak lekang dimakan waktu. Sebagai generasi baru, setidaknya spirit belajar dari Cak Nur, Azyumardi Azra, para senior dari kampus Hijau Hitam dapat kita serap. Diamalkan dalam keseharian.

Kita harus menjadi produktif. Intelektual yang tidak kekurangan pikiran cerdas dan pedas. Harus mampu menghiasi, mengisi wacana keilmuan di media massa. Menulis artikel, mengisi diskusi, seminar, kajian-kajian untuk mengkonstruksi pengetahuan. Melakukan ekspansi pengetahuan.

Berdakwah atau berjihat di bidang pengembangan pikiran. Menjadi akademis, terbiasa dengan wacana ilmiah. Bahkan secara universal, bukan hanya pada tataran intelektual, bisa merambah pada edukasi demokrasi dan politik. Gerakan yang massif, berjangka panjang. Tidak bersifat sesaat.

Begitu mulianya kalau kita menjadi agen yang menyebarkan pikiran-pikiran kritis. Menjadi pemantik, sekaligus lokomotif perubahan. Membedah soal peradaban, kearifan, serta banyak soal yang lebih fokus pada kepentingan pengembangan intelektual, rasionalitas. Jangan biarkan nalar publik sakit.

Jangan seperti kita ikut memberi pembiaran pada pembantaian nalar sehat. Menjungkir-balikkan, membuat sungsang ruang kesadaran publik. Sehingga berimbas pada pembungkaman suara kritis dan kritik sosial. Intelektual harus menginjek, mendesak publik agar berfikir dengan akal sehat.

Yang salah dibenarkan. Lalu yang sudah benar ditopang, dikuatkan. Dalam situasi normal maupun abnormal dalam berdemokrasi, kaum intelektual harusnya menjadi ''provokator''. Agar sudut pandang rakyat dalam memandang kebijakan atau persoalan tidak monoton. Bisa beragam.

Rakyat akan makin kaya pada khasanah pemikiran. Luas bacaannya, sehingga meredam sikap emosional, kemarahan yang tak terkendali, dan reaksi publik yang berujung pada kekacauan. Disitulah gunanya kehadiran kaum intelektual.

Kaum intelektual juga haruslah berani. Mengatakan tidak, mengkritisi, jika hal di depan matanya terkait kebijakan pemerintah tidak tepat sasaran dan merugikan publik. Jangan didiamkan semua problem yang melilit rakyat. Karena akan bahaya jika kaum intelektual bisu dan menjadi mandul.

Percayalah suatu saat nanti suara kritis akan terus membising. Suara-suara teriakan keadilan akan mekin kencang, bila kedzaliman pada nasib rakyat dibiarkan. Tidak dicarikan solusinya.

Jadilah matahari intelektual yang melahirkan banyak pemikir. Tanpa kita harus sibuk dipusingkan dengan aliran pemikiran, moderat, kiri atau kanan.

Teruslah menghidupkan intelektual dalam segala sendi. Pada urusan organisasi, kerja, bersosial, berpartai politik, nuansa intelektual haruslah ditonjolkan. Jangan diredupkan. Biarkan ghirahnya menyinari, membakar, menerangi jiwa-jiwa mereka yang mulai malas belajar untuk bergegas belar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun