Dunia itu seluas langkah kaki. Jelajahilah dan jangan pernah takut melangkah. Hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan, dan menyatu dengannya. Begitu, kata Soe Hok Gie. Lantas dimana cermin diri kita?. Tentu soal menata masa depan.Mengatur karir, semua manusia punya skema dan clue.Â
Bagiku, tidak ada perjuangan yang terlewatkan sia-sia. Atau tanpa jejak. Kehidupan ini tidak seperti kita menulis di atas air. Tidak seperti kita melukis di tepian pantai, di atas pasir yang setelah melukis. Ombak datang mengilangkannya. Tidak begitu.
Kehidupan itu terus bergulir. Ada yang waktunya seperti dihabiskan di jalanan. Tanpa makna. Tanpa memberi manfaat untuk diri. Apalagi keluarga dan bangsa. Ruang kesedihan menyeruak, jika kita berpersepsinya seperti itu. Hidup dengan waktu yang kita jahit, yang kita konstruksikan, tetaplah berarti.
Seperti jejak langkah yang diceritakan Pramoedya Ananta Toer dalam Novelnya. Perjalanan Minke dalam menyelesaikan sekolahnya di STOVIA Batavia, juga memberi pelajaran. Melalui dialektika, interaksi sosialnya membuat perasaan nasionalisme Minke bangkit.
Kita juga begitu.
Bermutasi dari satu era ke era selanjutnya. Dari satu zona ke zona berikutnya, tak akan bebas nilai. Kadang jenuh dan putus asa menghampiri. Seolah mencekik kita. Padahal, kita tidak sendiri.Â
Tuhan selalu punya alternatif dalam membimbing kita makhluk ciptaannya. Waktu kita habis di jalanan. Tanpa memikirkan beban hidup yang berat, sering kita menikmati canda tawa.
Bersama kawan, bersama pimpinan kita di tempat kerja kita tampilkan keceriaan. Berani kita meredupkan, membuat senyap kesedihan. Hingga benar-benar tidak nampak bahwa kita punya segudang masalah.
Tak disangka, kita menjadi lihai dan cermat menyimpan duka lara. Menjadi mahfum menciptakan kondisi ''kekurangan'' masing-masing. Entahlah. Bisa saja karena tidak mau terkesan cengeng. Bahkan bisa jadi kita terlampau berani berpura-pura kuat. Demi menjaga keharmonisan dan kewarasan.
Cara itu penting, bukan untuk kamuflase. Melainkan untuk menghormati perasaan orang lain. Kalau kita mau dalami dan bincangkan lebih jauh, begitulah perjuangan. Seperti itulah tekad hidup para pejuang. Tidak boleh bermental tempe.
Meski pada ruang interpretasi yang lain, kita tidak akan pernah tahu kapan waktu hidup kita di dunia. Boleh jadi, di tengah perjuangan kita meraih mimpi, Allah SWT memanjangkan umur. Hingga akhirnya kita menggapai impian. Atau, sebaliknya. Dimana cita-cita kita tercegat karena kematian menjemput.
Kehidupan telah mengajarkan kita. Mengajari kita dalam gambar besarnya. Bahwa ada yang sedang berjuang, namun sebelum impiannya termanifestasi, dirinya telah dipanggil sang maha kasih, Allah SWT.Â
Akhirnya, dirinya sendiri, keluarganya tidak merasakan buah dari perjuangannya itu. Menyedihkan. Karena kita hidup ada batasan waktunya. Semua skenario hidup dapat kita desain. Usaha merealisasikannya bisa dilakukan, tapi tetap ada kadar batasannya.
Kewenangan dan kekuatan manusia, tak akan mampu melebihi otoritas Tuhan. Insya Allah secara menyeluruh kita menjadi orang-orang menang. Orang yang merdeka dari perbudakan dunia. Menjadi manusia yang tidak terjajah atas hawa nafsu duniawi. Berhasil dalam berjuang. Lalu, merayakan dan menikmati hasil perjuangan tersebut.
Biarkan keluarga tercinta, bangga dan bahagia merasakan jerih payah perjuangan kita. Kita tidak meninggalkan beban, bahkan aib bagi keluarga. Ya Allah mudahkan segala nita suci kita semua. Demi keluarga perjuangan ini dilakukan. Kaki ini dilangkahkan, bukan untuk yang lain.
Seluruhnya demi martabat keluarga. Jangan lagi kita seperti tertipu, terbius situasi modernitas. Yang menempatkan kemewahan sebagai segalanya. Kemudian, dari itu semua melahirkan situasi sosial yang tidak berimbang. Kaya dan miskin menjadi alat ukur yang terlampau merendahkan kita semua.Â
Diskriminasi dan disparitas dipelihara. Ini adalah gambaran yang menakutkan. Padahal, sebaik-baiknya manusia hanyalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Bukan manusia yang menindas, atau menyombongkan diri bagi yang lain.
Kecemasan yang kadang meluap, melintas pada pikiran kita juga harus diredam. Jangan kecemasan dipelihara. Banyak yang kita amati. Ada yang kita sendiri alami. Dimana hanya karena materi derajat, wibawa, dan harta martabat sesama manusia direndahkan.Â
Hingga harga diri seseorang nyaris tak ada nilainya. Malu berkali-kali, berlutut kaku karena pengaruh kekuasaan maupun uang. Hanya lantaran kebutuhan ekonomi kehormatan menjadi hilang. Kita semua tentu berharap kemuliaan dan harga diri keluarga terjaga. Sembari tetap kita mengucapkan syukur, berterima kasih pada siapapun yang telah membantu kita. Yang membuat kita dapat survive.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H