Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Oligarki Bersekutu, Tolak PT Nol Persen

10 Juli 2022   08:10 Diperbarui: 14 September 2022   12:14 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


NYARIS
mencapai klimaks soliditas oligarki untuk menghajar kelompok politik yang mengganggu visi mereka. Memang target prioritasnya memenangkan Pilpres 2024. Setelahnya, memainkan Pemilu "Caleg dan Kepala Daerah" 2024.

Demokrasi dibuat seperti jalan berliku. Kanalisasinya dikendalikan segelintir orang. Padahal, sejatinya demokrasi spiritnya ialah kebersamaan. Atau nilai-nilai bersama. Anti monopoli. Benar-benar demokrasi dibuat menyusut.

Orientasinya mendorong pelibatan dan keaktifan semua pihak dalam politik mengalami distorsi. Serius, dihampir seluruh dimensi, demokrasi dikapling. Di Indonesia praktek demokrasi makin binasa. Masih dikendalikan satu dua orang atau satu dua kelompok tertentu "oligarki".

Merekalah yang kita sebut oligarki. Perkawanan geng politik yang kuat, terkonsolidasi, memiliki power. Alhasil, demokrasi untuk semua sekedar lips service. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan Presidential Threshold (PT) 0 Persen adalah bukti, betapa kuatnya oligarki.

Titik pijak dari para penggugat PT 20 persen karena menilai demokrasi itu equal. Tidak ada sekat dan perlakuan istimewa pada segelintir orang semata. Demokrasi memberi kesempatan yang sama, pada semua elemen rakyat untuk mewujudkan hak politiknya.

Rakyat yang telah dewasa berhak memilih dan dipilih. Tidak perlu ada ambang batas 20 persen untuk menjadi calon Presiden atau calon Wakil Presiden Republik Indonesia. Membatasi hak demokrasi, sama artinya mengkhianati demokrasi.

Realitasnya soliditas partai politik besar masih kuat. Mereka tidak rela parpol non seat dapat mengusung calon Presiden atau calon Wakil Presiden sendiri. Paradigma kapitalis, yakni yang kuat makin kuat dan yang lemah makin dilemahkan diterapkan. Pokoknya, parpol besar kian super power dalam Pilpres dan Pemilu. Monopoli dilakukan.

Demokrasi yang kita didam-idamkan malah disandera dengan PT. Begitu pula dalam konteks Parliamentary Threshold (PT) diberlakukan. Hanya mengungkap parpol besar. Parpol baru, parpol lama yang non seat kesulitan mengakses kemenangan.

Esensi demokrasi yang tidak mendiskriminasi rakyat, malah dibuat menjadi diskriminatif. Tanggungjawab Lembaga DPR sebagai pembuat Undang-undang perlu kita tagih dan pertanyakan lagi keberpihakannya. Kalau benar mereka berpihak pada rakyat, mestinya hak demokrasi rakyat tidak dikerdilkan.

Rakyat dibuat tidak ada harganya. Seperti itupun parpol yang didikotomikan, parpol besar, sedang, dan kecil. Dibuatkan sistem kelas dalam konteks berdokrasi. Ini kurang etis dan kurang ajar namanya. Demokrasi itu bukan alat menghantam lawan politik.

Melainkan akomodasi kepentingan, dan asas proporsionalitas yang harus diperhatikan. Tidak boleh demokrasi dibuat sekedar menjadi kampanye semata. Namun, praktiknya malah kontradiktif dari nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Karena kalau begitu orientasi dan modus yang digunakan, stakeholder terkait sama saja mematikan demokrasi. Benih demokrasi seolah-olah diberangus dengan menempatkan demokrasi di lahan yang tandus. Panas terik, kegersangan melanda yang menyusahkan demokrasi tumbuh subur. Menyedihkan.

Bahkan Prof. Yusril Ihza Mahendra, pakar Hukum Tata Negara menyebut MK lebih berpihak pada oligarki daripada rakyat. MK disebut bukan lagi 'the guardian of constitution' dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi 'the guardian of oligarchy'.

Ditolaknya PT 0 persen adalah kabar Dika yang menyelimuti kita semua. Betapa tidak, konsekuensinya membuat polarisasi terhadap masyarakat. Oligarki makin solid. Ditolaknya PT 0 persen menandakan oligarki telah bersekutu. Parpol besar tentu berpesta pora atas hal ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun