BUKAN sebatas mendapat kesempatan. Memperoleh ruang untuk menyamapikan pikiran, hasil bacaan. Mendengar, mengulas kembali apa yang pernah ditulis atau menceritakan pengalaman di meja "paling depan" semata. Tapi, ini soal pertemuan berkualitas yang didapati saat Refleksi Sumpah Pemuda ke-90.
Tepatnya, Kamis 1 November 2018 malam. Di kantor Walikota Manado ada kesempatan istimewa. Untuk duduk disamping Kanda Rahmat Adam, Sekretaris Umum HMI Cabang Manado periode 2001-2003 dan Kanda Idam Malewa, Ketua Umum HMI Cabang Manado periode 2003-2005. Mendampingi mereka, dan sama-sama sebagai narasumber. Kali ini saya diberi kesempatan memberi pengantar diskusi.
Saya bahagia, haru dan bangga. Kira-kira setara bahagianya dengan kesempatan yang diberikan Ketum HMI Cabang Manado Dinda Iman Karim kepada saya untuk menyampaikan pikiran dalam forum diskusi ini. Kita disodorkan tema tentang 'PEMUDA TOLERANSI'.
Saya yakin betul semua orang dapat mengeksplor pikirannya tentang tema ini, lebih baik lagi. Sebagai generasi yang pernah memanfaatkan kesempatan menjadi aktivis mahasiswa. Tergabung di HMI, kami telah diajarkan untuk konsisten memelihara tradisi belajar pada buku (koleksi literatur).
Kepada para senior, kita selalu punya patron, condong pada hal-hal yang sifatnya berkemajuan. Dan sering kali senang "mengkultuskan" senior yang kita nilai intelek.
Di tengah dialog malam itu, yang dihadiri kurang lebih ratusan mahasiswa dari aktivis organisasi Cipayung (GMKI, PMII, dan HMI sebagai tuan rumah). Aktivis mahasiswa intra kampus juga. Saya seperti mendapat spirit baru atas sikap kritis. Bangunan nalar sehat yang diajukan kedua narasumber.
Bagi aktivis, mengupas satu tema dari perspektif berbeda adalah suatu kenikmatan tersendiri. Sukar rasanya saya mengambil kesmpulan atas pikiran-pikiran progresif. Konstruktif, sekaligus provokatif dari kedua senior tersebut.
Tak mau lancang, dan juga takut salah. Bila saya mengkanalisasi pikiran universal senior, bisa bahaya. Berbagai penyampaian teori, anasisi, paradigma, argumentasi, dan usulan praktis strategis. Yang disampaikan mereka dalam forum tersebut, terlampau membahana.Â
Berisi, substantif dan menginspirasi. Itulah alasannya kenapa saya tak berani menarik konklusi. Bersikap sesuai dengan apa yang saya pelajari saja, itu cukup.
Diberikan kesempatan bicara pada sesi terakhir sebagai narasumber. Memaparkan pendapat seputar tema, fokus saja bicara apa adanya. Saya memulainya dengan pikiran sederhana. Bahwa tema Toleransi sebetulnya telah finish (tidak hanya final).
Kemudian toleransi, tidak tepat juga disebut irelevan. Toleransi adalah milik semua agama. Menjadi icon penyatu. Kita rukun bersamanya. Hanya saja toleransi menjadi problematik karena realitas sosial sering kali membenturkannya. Ada saja kesenjangan antara narasi toleransi dengan aktualisasi di lapangan.
Apalagi interpretasi toleransi telah ditarik, dikerdilkan. Disandera, disabotase dalam ruang sempit kepentingan politik. Lantas, semua orang mengaku paling tolenasi. Tapi juga rutin dan tak tau malu menyalah-nyalahkan orang lain. Tidak toleran ucapan dan perbuatan.
Akhirnya, perdebatan menyeruak ada yang merasa paling toleran. Dan tuduhan serius terhadap orang lain yang tidak toleran (intoleran) pun mengemuka. Walaupun, secara realistis di sekitaran kita ada orang atau kelompok yang masih belum Toleran.
Tugas kita mendekati memberi edukasi, bukan memusuhi secara frontal. Karena niat kita mencari solusi. Bukan menambah-nambah masalah.
Semacam siklus, toleransi tak bisa dibenturkan. Atau diributkan, tak bisa pula digeneralisir bahwa seorang oknum yang tidak toleran lantas stigma itu kita alamatkan pada kelompok agama tertentu. Bila masih ada diantara kita yang juga merasa paling toleran, lalu bersikap demikian. Ini namanya toleransi serampangan. Toleransi palsu atau semu.
Tidak adil dan mendiskriminasi orang lain, ini juga malapetaka. Sebetulnya, itu benih intoleransi juga. Sehingga yang harus dicerdaskan, direposisi adalah pikirannya. Agar jujur dan adil. Kita butuh pula gerakan literasi untuk konteks menyentuh kesadaran konstruktif.
Pada forum itu juga saya memberi catatan penting. Dimana toleran atau toleransi bukanlah untuk dipolitisasi. Ia merupakan milik publik. Jangan didistorsi makna toleransi itu. Jangan dipakai, diperalat untuk kepentingan kapitalisasi pencitraan politik. Sungguh merusak. Kemudian dibagian lain, saya menyisipkan setidaknya kita pemuda perlu menghadirkan role model.
Jadilah pemuda aktif, partisipatif dan kontributif dalam mendorong pembangunan. Jangan mau menjadi corong yang membuat kegaduhan publik. Jangan suka menuding orang lain salah. Lalu merasa paling benar sendiri.
Teringat dikala masih mahasiswa. Dahulu, jika duduk bersama para senior idola dan mentor ada gengsi luar biasa serta kebanggan tersendiri. Yang sulit rasanya digambarkan. Dan kegembiraan itu kembali saya rasakan. Mengambil pelajaran, dari 'pengajian", ceramah dan upaya "cuci otak" yang dilakukan kedua Kanda ini. Terima kasih atas semua dialektika. Akan menjadi kenangan manis buat kita kenang.
Seperti halnya keyakinan kita tentang perubahan. Ia akan tumbuh dan mengalami akselerasi manakala kita bergerak melakukan perubahan secara kolektif (Jami'ah). Silahkan benturkan pikiran kita dengan kondisi Negara.
Boleh jadi dalam rasio kita realitas sosial memprihatinkan, tidak sesuai ekspektasi dan kepentingan rakyat. Dalam konteks berdemokrasi, silahkan memanfaatkan saluran-saluran yang legal konstitusional, tidak menambrak regulasi Negara.
Terakhir, saya menaruh catatan besar dari rangkaian silaturahmi ini bahwa kita sepakat tidak berhenti di ruang berAC itu, tapi bertindak mengaktualisasikan ide. Pemuda menjadi duta dan agensi toleransi. Bukan menjadi benalu apalagi penyumbang perpercahan di tengah masyarakat.
Kita hadir mendinginkan, menyegarkan, memberi solusi. Harus peka, disiplin, dan pemuda harus punya jati diri, identitas. Itulah yang membuat pemuda ada. Sebagaimana ungkapan Descartes, cogito ergo sum.
Problem majemuk pada skala regional hingga Nasional harus diposisikan sebagai tanggung jawab sosial semua pemuda untuk membantu pemerintah dalam melakukan perubahan. Begitu pula pemerintah wajib merangkul bukan memukul, harus memberi ruang yang representatif dan proporsional.
Kepada pemuda yang dikenal sebagai kreatif minority ini, dengan kebersamaan kolaborasi harmonis, maka kita optimis Indonesia makin berjaya dimasa mendatang. Inilah sekecil-kecilnya perspektif saya, semoga ada pencerahan dari para senior dan teman-teman.
_______________
Catatan ini pernah diposting di Facebook, 2 November 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H