Akhirnya, perdebatan menyeruak ada yang merasa paling toleran. Dan tuduhan serius terhadap orang lain yang tidak toleran (intoleran) pun mengemuka. Walaupun, secara realistis di sekitaran kita ada orang atau kelompok yang masih belum Toleran.
Tugas kita mendekati memberi edukasi, bukan memusuhi secara frontal. Karena niat kita mencari solusi. Bukan menambah-nambah masalah.
Semacam siklus, toleransi tak bisa dibenturkan. Atau diributkan, tak bisa pula digeneralisir bahwa seorang oknum yang tidak toleran lantas stigma itu kita alamatkan pada kelompok agama tertentu. Bila masih ada diantara kita yang juga merasa paling toleran, lalu bersikap demikian. Ini namanya toleransi serampangan. Toleransi palsu atau semu.
Tidak adil dan mendiskriminasi orang lain, ini juga malapetaka. Sebetulnya, itu benih intoleransi juga. Sehingga yang harus dicerdaskan, direposisi adalah pikirannya. Agar jujur dan adil. Kita butuh pula gerakan literasi untuk konteks menyentuh kesadaran konstruktif.
Pada forum itu juga saya memberi catatan penting. Dimana toleran atau toleransi bukanlah untuk dipolitisasi. Ia merupakan milik publik. Jangan didistorsi makna toleransi itu. Jangan dipakai, diperalat untuk kepentingan kapitalisasi pencitraan politik. Sungguh merusak. Kemudian dibagian lain, saya menyisipkan setidaknya kita pemuda perlu menghadirkan role model.
Jadilah pemuda aktif, partisipatif dan kontributif dalam mendorong pembangunan. Jangan mau menjadi corong yang membuat kegaduhan publik. Jangan suka menuding orang lain salah. Lalu merasa paling benar sendiri.
Teringat dikala masih mahasiswa. Dahulu, jika duduk bersama para senior idola dan mentor ada gengsi luar biasa serta kebanggan tersendiri. Yang sulit rasanya digambarkan. Dan kegembiraan itu kembali saya rasakan. Mengambil pelajaran, dari 'pengajian", ceramah dan upaya "cuci otak" yang dilakukan kedua Kanda ini. Terima kasih atas semua dialektika. Akan menjadi kenangan manis buat kita kenang.
Seperti halnya keyakinan kita tentang perubahan. Ia akan tumbuh dan mengalami akselerasi manakala kita bergerak melakukan perubahan secara kolektif (Jami'ah). Silahkan benturkan pikiran kita dengan kondisi Negara.
Boleh jadi dalam rasio kita realitas sosial memprihatinkan, tidak sesuai ekspektasi dan kepentingan rakyat. Dalam konteks berdemokrasi, silahkan memanfaatkan saluran-saluran yang legal konstitusional, tidak menambrak regulasi Negara.
Terakhir, saya menaruh catatan besar dari rangkaian silaturahmi ini bahwa kita sepakat tidak berhenti di ruang berAC itu, tapi bertindak mengaktualisasikan ide. Pemuda menjadi duta dan agensi toleransi. Bukan menjadi benalu apalagi penyumbang perpercahan di tengah masyarakat.
Kita hadir mendinginkan, menyegarkan, memberi solusi. Harus peka, disiplin, dan pemuda harus punya jati diri, identitas. Itulah yang membuat pemuda ada. Sebagaimana ungkapan Descartes, cogito ergo sum.