Sosialisme merupakan paham tentang nilai-nilai sosial. Lebih mengutamakan kepentingan kolektif. Sosialisme atau sosialis, bukanlah komunisme. Apalagi khilafah, melainkan paham ekonomi kerakyatan (sosial).
Sementara itu, kapitalisme merupakan aliran pemikiran yang mengedepankan modal (kapital). Sistem ekonomi yang serampangan. Atau ekonomi liberal. Yang melepas mekanisme pasar dikendalikan individu dan kelompok. Bukan negara. Yang kuat makin kuat, dan yang lemah makin lemah. Hegemoni kepentingan berlaku disini.
Kapitalisme menjadi musuh dari sosialisme. Atau sebaliknya. Sosialisme sebagai antitesis dari kapitalisme. Bagaimana tidak, bukan hanya soal penguasaan alat produksi, dan pemilik modal. Kapitalisme bersifat memenjarakan pemuda kecil.
Keduanya, dalam beberapa pendangan politik bernegara sering dipadukan. Dibuat kombinasi, saling kawin-mawin pemikiran. Namun, dalam banyak praktek berpolitik di Indonesia kapitalisme begitu dominan. Kapitalis memang rakus. Boleh menambah, tapi tidak untuk berbagi.
Jikapun keadaan terpaksa, lalu harus berbagi. Mata rantainya, dibuat kanal untuk lebih besar keuntungan mengalir pada kapitalis. Istilah sederhananya, kasih tiga dapat lima belas. Atau bahkan dapatnya lebih dari itu. Berlipat-lipat keuntungannya.
Kapitalisme cenderung membangkitkan spirit individualisme. Berupa monopoli kekayaan, yang kaya semakin kaya raya. Melimpah hartanya, lalu yang miskin makin miskin. Berbedaan kelas tumbuh subur.
Ketika sosialisme mengendaki kebersamaan, kesamaan hak. Kapitalisme lebih akrab pada kompetisi. Anti sosial, tidak mau memikirkan dan mempraktekkan kesetaraan.
Keadilan dan kesamaan hak (egaliter) baginya hanyalah ilusi. Itulah paradigma atau ciri khas dari ideologi kapitalisme. Nah, bagaimana dengan praktek politik kita di Indonesia?. Harus jujur kita akui dan katakan, tidak perlu diingkari bahwa praktek politik kita di tanah air lebih dominan dengan praktek kapitalisme.
Uang atau materi menjadi segalanya. Indikator kemenangan politik, bukan pada aspek modal sosial. Kerja berpihak, membela rakyat, dan memperjuangkan segala hak-hak rakyat sipil. Melainkan, siapa yang lebih banyak memberi sesuatu berupa materi kepada rakyat.
Disinilah kelemahan kita. Praktek politik kita telah berada dalam posisi mengkhawatirkan. Tidak sedang baik-baik saja. Sayangnya, sebagian politisi kita menikmati suasana ini dan menganggap itu hal biasa dalam berdemokrasi.
Patut kita katakan, dampak kapitalisme dalam ruang politik kita ini berbahaya. Menjadi tanda bahwa demokrasi kita mengalami kemunduran. Bukan kebaikan, loyalitas, kesungguhan, dedikasi, dan pembelaan pada rakyat tiap waktu yang dinilai rakyat.
Malah rakyat terkecoh, dan menganggap antek-antek kapitalis (cukong) adalah orang baik. Mereka pemodal dianggap malaikat penyelamat. Rakyat lupa kalau Sumber Daya Alam, tanah milik rakyat akan digadaikan demi itu semua.
Kebaikan semu yang dipertontonkan harusnya dipertengkarkan rakyat. Tersayat hati kita yang berfikir rasional, bila rakyat dibodohi kapitalis. Memberi sesuatu, uang, bantuan Sembako, dan alat peraga lainnya. Lantas mereka berharap dukungan rakyat.
Akhirnya, lebih banyak mudharat yang terjadi di Indonesia ini. Karena apa?, kelalaian rakyat sendiri. Rakyat yang mau memilih kapitalis atau mereka yang menjadi sandera kapitalis untuk memimpin daerah dan Indonesia. Berhentilah menikmati kebodohan tersebut.
Sekali lagi, memilih politisi yang hanya mengandalkan uang atau materi membuat nasib rakyat tergadai. Membuat masa depan daerah serta negara Indonesia mengalami kehancuran. Bagaimana tidak, target kapitalisme ialah hanya untuk kepentingan ekonomi.
Meraup keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan perut. Demi kepentingan keluarga mereka. Begitulah kapitalisme bekerja. Dalam pandangannya tidak ada yang gratis. Tidak ketulusan dan keikhlasan, yang ada hanyalah take and give. Simbiosis mutualisme, itu yang menjadi kiblat pemikirannya.
Terinspirasi dari Georg Wilhelm Friedrich, pemikir Jerman, kaum sosialis melihat kapitalisme sebagai sebuah sistem yang tidak stabil. Pertengkaran kepentingan sosialisme dan kapitalisme rupanya tak akan berakhir.
Karl Marx, sosialis asal Jerman menilai bahwa pertentangan tidak hanya terjadi dalam ranah pikiran, melainkan inheren di dalam sistem kapitalisme. Sentimen saling menguasai, antara sosialisme vs kapitalisme membuat islah atau rekonsiliasi tidak pernah tercapai.
Dalam ulasan singkat ini, kita tidak sedang mendalami teori sosialisme maupun kapitalisme. Melainkan, melihat dampak dari beroperasinya dua ideologi dunia ini di Indonesia. Terlebih dalam penerapannya di panggung politik mutakhir.
Rasanya, mulai dari Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi dan tingkat nasional di Indonesia, praktek politik kita telah dinodai dengan perilaku kapitalisme. Bayar suara, memberi materi, menjanjikan jabatan untuk mendapatkan keuntungan. Praktek tukar guling kepentingan begitu nampak.
Jabatan dikompensasikan dengan uang. Bahkan, rakyat di Desa wilayah terisolir juga menganggap ini praktek wajar. Padahal, ini bertentangan dengan spirit demokrasi. Kapitalisme bukanlah sahabat atau kerabat sistem demokrasi.
Kapitalisme merupakan lawan dari demokrasi. Itu sebabnya, perilaku buruk kapitalisme jangan diadopsi untuk menjalankan demokrasi. Bagaimanapun, visi kapitalisme ialah menggerogoti demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H