Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Pancasila Tergilas Gelombang Liberalisme

21 April 2022   18:48 Diperbarui: 21 April 2022   18:53 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Amas, potret demokrasi (Dokpri)


Spiral
konflik kepentingan yang makin tajam. Mulai dari politik berjubah agama. Isu politik sensitif, rentan memicu konflik sosial dihembuskan. Politik identitas dikemas, saling menyalahkan terjadi.

Demokrasi Pancasila, sebagai sistem nilai malah diobok-ombok, diombang-ambing gelombang liberalisme. Praktek berpolitik kita, utamanya yang sangat kelihatan. Liberalnya praktek politik, tidak lagi mengindahkan, menaati nilai-nilai Pancasila.

Kemanusiaan dikesampingkan. Persatuan rakyat, sekedar menjadi tameng politisi. Keadilan diamaikan, rakyat dijadikan alat eksploitasi politik. Hak politiknya dibeli dengan harga murah. Teriak persatuan, teriak toleransi, tapi mereka terdepan memproduksi narasi perpecahan.

Pecah-belah atau pembelahan politik, tidak boleh sama sekali disalahkan pada rakyat. Itu murni kesalahan politisi. Seharusnya, jika elit partai politik serius membenahi kaderisasi dan rekrutmen politik yang teratur. Praktek politik kita tidak tercemar dengan politik uang.

Yang membuat rakyat materialisme adalah politisi kita. Rakyat dibujuk, diberi uang tunai. Diberi paket sembako, diberi bantuan macam-macam hngga merambah rumah ibadah, dan nyaris institusi pendidikan. Kompensasinya, tetap politisi itu meminta dirinya dipilih rakyat. Terlampau rendah. Demokrasi Pancasila dibuat menjadi dagangan murahan.

Ruang demokrasi disulap menjadi pasar gelap. Siapa saja bisa bertransaksi, muncul menjadi calon pemimpin. Baik itu di Legislatif maupun Eksekutif. Hasilnya, kader parpol kalah dengan kaum borjuis atau pemilik modal. Petugas parpol, kalah berkompetisi dengan pengusaha.

Indikator paling efektif dan ampuh adalah uang atau materi. Bukan kualitas diri. Begitu menyedihkan. Tidak sedikit, tradisi melemahkan demokrasi itu dianggap rakyat sebagai hal biasa. Mereka menyebut ini sesuatu momentum musiman yang telah diwariskan turun-temurun.

Bukan lagi tabu. Begitu parahnya kerusakan pikiran rakyat kita. Lalu elit politik dan politisi menyalahkan itu pada rakyat?, saya pikir saya besar. Kebobrokan itu karena ulah politisi. Oknum yang paling bertanggung jawab disini ialah elit parpol. Jika saja elit parpol tegas, iklim politik akan ramah dan berkelas, berkualitas.

Para pendatang baru, orang-orang yang bermodalkan uang. Bukan kader parpol, mestinya jangan sama sekali diberi kesempatan oleh elit parpol. Karena sudah pasti, pasar pemilih kita rentan dan tergoda dengan mereka yang banyak uang.

Para politisi yang dadakan. Tidak berakarir di parpol, sudah pasti lebih punya banyak uang untuk membayar (menyuap) rakyat. Ketimbang para politisi yang terdidik di parpol dengan idealisme dan ideologisasi parpol. Bagi kader parpol, membayar pemilih itu pengingkaran terhadap diri mereka. Itu sama saja mereka melacurkan diri.

Berbeda dengan itu, para politisi karbitan yang masuk parpol karena koneksi dan kekerabatan atau model uang. Pasti dalam pikirannya adalah harus menang. Dengan cara apapun, sudah terlanjur terjun ke panggung politik, sudah harus menang. Sehingga obsesi itulah yang mendorong mereka menghalalkan segala cara.

Demi kemenangan, meraih kekuasaan, membayar rakyat berani mereka lakukan. Tidak hanya itu, memberi gratifikasi kepada oknum penyelenggara Pemilu juga dilakukan. Ini sejumlah problem serius yang melilit, menyandera demokrasi Pancasila. Cara berdemokrasi kita di Indonesia terlampau liberal.

Padahal aturan telah membatasi itu. Ada sanksi yang siap diterapkan bagi mereka yang melanggar aturan dalam praktek berpolitik. Tapi, yang ada aturan terkadan hanya seperti barang antik. Hanya dipandang, dibaca saja aturan itu. Implementasinya tidak maksimal.

Malah dalam kasus-kasus tertentu, aturan yang powerfull itu dijadikan bargaining politik. Meningkatkan harga dan daya tawar penyelenggara Pemilu. Mentalitas yang bermasalah, situasi mengkhawatirkan ini tak boleh dibiarkan. Jangan dianggap biasa.

Demokrasi Pancasila yang kita tinggikan derajatnya. Yang kita idolakan sedang sakit. Sakit juga sudah pada level kanker metastasis. Berat, komplikatif, tidak mudah mengobatinya. Penyelamatannya butuh intervensi sang khalik. Pemerintah harus serius membenahi kemerosotan mentalitas berdemokrasi seperti ini.

Berhentilah kita bertengkar kepentingan pribadi. Politisi juga kurangi tensi debat kusir. Peka terhadap problem di depan mata. Bahwa sistem demokrasi dan praktek berdemokrasi kita tidak sejalan. Begitu jomplang. Cita-cita bernegara akan sulit terwujud kalau perilaku rakyat dan politisi terus didikte cukong laknatullah.

Yang di hadapan ini bukanlah hal yang superficial. Telah mengakar kerusakan dan penyakit yang menulari rakyat Indonesia untuk beberapa generasi. Demokrasi Pancasila harus ditegakkan dengan praktek Pancasilais. Bukan dengan jargon, ucapan yang nyaris tidak ada gunanya itu.

Rakyat butuh tindakan. Perlu mencontoh bagaimana praktek demokrasi Pancasila dari politisi. Hentikan politik uang. Hentikan intervensi. Didik rakyat kita dengan cara berpolitik yang santun. Bermartabat, cara-cara berpolitik yang mengedepankan kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan.

Berbeda pilihan politik, secara demokrasi itu hal lumrah. Jangan ada perilaku sinis "cynical behavior". Baik itu sesama rakyat sipil. Antara rakyat dan pemerintah. Atau antara sesama politisi yang berbeda parpol. Pemikiran sinisme hanya membuat, juga melahirkan jurang pemisah. Membuat demokrasi Pancasila sulit mengalami kemajuan.

Seperti itupula gelora dan spirit keterbukaan dengan alasan kompetisi global. Juga harus diimbangi. Direm dengan kesadaran lokalitas. Jangan sampai gelombang liberalisme menggilas demokrasi Pancasila yang kita banggakan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun