BANYAK pentas politik kita diwarnai cerita jenaka. Yang mengundang tawa. Begitulah realitas bangsa kita Indonesia, semua situasi politik yang tegang harus disikapi dengan jenaka. Kadang parodi politik lebih membuat rakyat jernih berfikir, dan lebih sabar.
Lebih arif dan juga bijaksana membaca peta politik, serta dinamikanya. Dikala praktek politik berisi pameran perampokan uang rakyat "korupsi". Jenaka politik menjadi panggung alternatif untuk mendidik kewarasan rakyat. Melalui kanal tampilan yang ringan dan santai.
Setidak-tidaknya dengan metode itu, rakyat bisa akur. Tidak ada lagi kemunafikan dan saling dendam. Bagaimana tidak, dengan jenaka orang-orang tertawa lepas. Tanpa beban. Menjauhkan pikiran negatifnya, melepas buruk sangka. Jenaka politik menawarkan suasana kejujuran.
Perbanyaklah jenaka politik. Lucu-lucuan, cerita yang membangkitkan tawa menggema sepertinya lebih efektif membuat elemen rakyat terkumpul. Terkonsolidasi dengan sendirinya tanpa konflik kepentingan. Tanpa memelihara dan memupuk dendam kesumat.
Situasi yang paling memberatkan sekalipun bagi rakyat, seperti kelakaan minyak goreng. Naiknya harga BBM, bisa disadur, dipentaskan dalam bentuk penggung jenaka politik.
Biar rakyat segar pikirannya. Tidak kusut wajah rakyat, begitu juga wajah politisi kita. Mereka para aktor politik yang berpikiran buruk akan tersentuh melalui refleksi jenaka politik. Para aktor "pelawak", komika stand up comedy memamerkan talentanya. Beri komedian kita daulat dengan hormat untuk berkreativitas mencerahkan publik. Dan menyadarkan politisi penikmat, pemabuk kekuasaan.
Panggung rakyat atau ruang terbuka "public space" perlu diberdayakan. Diatur dan dimanfaatkan ruang umum untuk membangkitkan cerita-cerita lucu yang reflektif. Melalui pendekatan itu, kita berharap kritik ringan dan cerdas, juga pedas, tepat sasaran akan dilayangkan. Hadirkan para politisi yang pernah mengalami cacat moral.
Tidak saja itu. Para calon koruptor boleh diundang hadir. Tidak sedikit forum ilmiah, dialog publik, seminar, sosialisasi, edukasi, sampai debat telah dilakukan. Tapi perilaku politisi korup, anti kritik, tetap saja ada. Tidak habis-habisnya tumbuh. Jenaka politik perlu menjadi role model baru dalam menyadarkan masyarakat politik.
Agar ketegangan diantara sesama rakyat. Para politisi, kader pemimpin bangsa lintas generasi boleh disuguhi realitas baru. Biar pengayaan politik diredesain lagi. Memang kita tidak harus krisis dan miskin metode. Ketika dengan pola edukasi politik klasik, politisi tetap bermental begal. Kita harus berani merubah. Menempuh cara baru.
Panggung dan pameran jenaka politiklah rekomendasinya. Melalui pementasan tersebut, cerita lucu terkait politik kebangsaan, perilaku negarawan, ketaatan pada konstitusi dapat diceritakan ulang. Hikmahnya tentu akan ada. Dimana ruang renegerasi dapat tumbuh. Silaturahmi yang bersifat terbuka dan cair lebih aktif dilakukan.
Sekedar diketahui. Cerita jenaka merupakan bagian cerita rakyat yang berunsur jenaka atau lucu yang dapat membangkitkan tawa. Terapi tawa membuat kita bebas, merdeka, dan jujur mengekspresikan apa yang ada dalam diri kita. Pentas leluconlah yang akan memfasilitasi itu semua.
Cukuplah, karangan cerita lepas nan lucu juga dungu pernah disampaikan oknum politisi. Yang sebagian besarnya fiksi, dan fiktif. Tidak boleh kebohongan itu terulang. Janji manis politisi untuk mengajak rakyat memilihnya, hanya bualan, omong kosong. Ketika terpilih, menang, mendapat kursi kekuasaan politisi itu lupa pada janjinya.
Akhirnya, janji tinggal janji. Rakyat berharap ada perubahan, namun yang ada hanyalah janji-janji baru lagi yang diberi. Jikapun sebagian politisi menunjukkan komitmen mewujudkan janjinya, belum perna ada yang mampu mencicilnya 100 persen.
Itu sebabnya, cukup beralasan sekarang dan kedepannya kita menyiapkan kelas baru. Kelas dimana jenaka politik yang bersifat mengedukasi harus dibuat. Dilaksanakan. Kita berharap dengan ikhtiar ini tatanan politik kita nanti lebih beradab. Lapak edukasi politik alternatif yang sebetulnya efektif mencerdaskan publik.
Nilai-nilai kemanusiaan bukan saja diucapkan. Melainkan diterapkan. Rangkaian kata-kata manis untuk rakyat dibuktikan dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil "termarginal". Bukan dijadikan senjata untuk olah-olahan pada rakyat. Kepentingan rakyat digadaikan demi kekuasaan politik. Lantas rakyat ditinggalkan, bukan itu yang diharapkan rakyat.
Melalui pentas cerita jenaka, satire dan gimiick lucu mencerahkan dapat ditampilkan. Kisah, kasus, atau praktek tipu muslihat yang dilakukan oknum politisi yang memperkaya diri sendiri dengan menyalahgunakan kekuasaan publik juga dapat disentil secara apik. Tujuannya menjadi renungan. Menjadi pengingat diri, agar politisi lain tidak ikut skandal serupa.
Pencerahan semacam itu lebih mudah dicerna rakyat luas. Panggung jenaka politik kalau diseriusi bakal menjadi ramuan paling efektif. Mengobati dan menyembuhkan para politisi yang sakitnya telah kumat. Para politisi yang membudayakan korupsi dan memelihara kesombongan jabatan di dalam dirinya.
Sebut saja sandiwara politik yang bersifat busuk ditampilkan politisi korup. Di Pengadilan, saat proses hukum pengakuan dan kesaksian palsu sering digunakan. Tak jarang mereka bersumpah atas nama agama dan Tuhan. Mereka menutupi yang sebetulnya terjadi. Supaya tidak baper, rakyat harus membaca itu semua sebagai cerita jenaka politik. Lucu-lucuan semata.
Pada titik waktu tertentu, satu persatu pengakuan palsu terkonfirmasi dengan hadirnya saksi-saksi lain. Dan ternyata, yang disampaikan oknum politisi korup itu hanya untuk membela dirinya sendiri. Politisi tersebut membuat lagi satu kesalahan baru. Suatu pertunjukkan yang sangat tidak elok. Tidak mendidik publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H