Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fragmentasi Politik, Cebong Atau Kadrun Pemicunya

14 April 2022   23:40 Diperbarui: 14 April 2022   23:55 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pembelahan politik di tanah air sangat terasa. Termasuk yang ikut berkontribusi memicu meningkatnya tensi politik ialah munculnya beragam isu, satire, bahkan saling klaim kebenaran di media sosial. Antara cebong dan kampret atau yang lebih tren disebut kadrun, begitu alot.

Cebong identik dengan para pemuja istana atau pemerintah. Apapapun yang terjadi, pemerintah tetaplah yang maha benar. Mereka bermetamorfosis, bermutasi sebagai buzzeRP. 

Sementara Kadrun atau kadal gurun, yakni kelompok oposan. Lebih spesifik ditujukan kepada kelompok yang dituding radikal-teroris. Pihak yang dituduh selalu nyinyir dan emosional merespon kebijakan pemerintah. Kadrun dinilai tendensius, penghasut, intoleran, dan sinis pada pemerintah.

Kadrun sesuai ciri-ciri yang dilabelkan cebong yaitu mereka yang memakai celana cingkrang. Mereka yang memakai jubah agama untuk kepentingan politik. Mereka yang memakai cadar bagi perempuan. Yang pria memakai peci, jidat hitam, dan simbol-simbol yang melekat pada umat Islam.

Sebetulnya, inilah percakapan yang ambigu. Penuh friksi, saling mengadu dan membenturkan hal-hal sensitif demi politik. Tapi, disatu sisi cebong dan kadrun masing-masing merasa paling benar. Paling berkonstribusi terhadap kehadiran Indonesia dan kemajuannya.

Bahkan sampai yang teraktual muncul diksi "anarko" atau anarki yang dilabelkan pada kelompok mahasiswa pendemo. Terlalu sempit tafsirannya. Padahal bisa dirunut, anarko atau kelompok anarkisme. Mereka yang mentradisikan kekerasan sebagai jalan mencari solusi, bukanlah kesalahan rakyat. Apalagi mahasiswa yang terdidik. Sangat jauh dari iklim dan nilai-nilai akademis, kampus.

Siapa dalang yang membuat kegaduhan di negeri ini?. Pertanyaan ini akan menjadi debatable. Baik menurut cebong maupun kadrun. Dua-duanya akan saling menyalahkan, merasa "paling suci" tak ada salah. Mereka menempatkan dirinya sebagai sumber kebenaran.

Walaupun nyatanya dialektika bernegara yang mereka bangun melalui narasi kebencian, memberi dampak lahirnya fragmentasi. Keterbelahan sosial terjadi, karena masing-masing mereka saling serang tanpa henti. Samuanya, kalau ditarik dalam kepentingan politik, nyaris sama.

Fragmentasi politik disini lebih diartikan sebagai perpecahan, pembelahan, dan polarisasi politik. Yang tidak hadir sendiri. Lanjut kita korek praktek yang dilakukan cebong misalnya, dengan percaya diri "menepuk dada", merasa paling Pancasilais.

Konyolnya, menuding pihak yang berpendapat berbeda dengan kelompoknya sebagai anti Pancasila. Tidak Pancasilais, terduga teroris, radikalis, dan mereka menyebut kadrun. Tuding menuding, akhirnya terus berlanjut. Kadrun tidak diam, mereka juga bereaksi.

Mencari cara untuk tetap menjaga eksistensi. Menuding balik bahwa cebong anti kritik. Cebong anti perbedaan pendapat, dan cebong anti demokrasi. Kaku, bahkan alergi terhadap perbedaan pandangan yang dilindungi Undang-undang. Cebong disebut sumbu pendek.

Disinilah situasi dinamika dan dialektika makin runyam. Klaim kebenaran antara keduanya memuncak. Cebong yang dilekatkan pada pemerintahan Jokowi dan kroni-kroninya. Lalu kadrun dialamatkan pada sosok Anies Baswedan. Yang sebelumnya, simbol kadrun lebih akrab ke sosok Prabowo Subianto.

Pertukaran ide, benturan isu hanya seputar Pancasila dan anti Pancasila. Radikal vs anti radikalisme. Hingga negara memberi fokus memerangi radikalisme atau terorisme. Resikonya, apa saja terkait dinamika sosial, penyampaian aspirasi publik, akan dikait-kaitkan dengan radikalisme dan terorisme.

Ketika ada pihak yang konsisten, berani melakukan kritik, dianggap sentimentil. Antipati terhadap pemerintah, kemudian pihak tersebut akan distigma melakukan makar. Mengganggu pembangunan yang tengah dilakukan pemerintah. Sangat miris. Pandangan yang tidak seharusnya digunakan pemerintah saat menghadapi kritik dan saran yang dilayangkan rakyat.

Ada pihak oposisi, ada rakyat yang berfikir memberi kritik masukan pada pemerintah itu bukan berarti rakyat membenci. Bukan berarti rakyat tidak menyukai apa yang dilakukan pemerintah. Cobalah, pemerintah berfikir terbuka. Berfikir positif untuk merangkul dan mengkonsolidasi seluru elemen rakyat.

Kalau ditanya siapa yang menjadi pemicu sehingga lahirnya fragmentasi politik?, maka jawabannya pihak yang memelihara sentimen dan dendam yang layak disalahkan. Jika, cebong membenci tidak menyukai kadrun, yang sama-sama anak bangsa. Itu berarti cebong berjasa atas perpecahan.

Begitu pula dengan kadrun. Ketika masih ada kebencian, merasa paling benar, lalu menyalahkan cebong. Berarti kadrunlah perusak dan pemecah-belah Indonesia. Kita berharap kedua pihak ini benat-benar mau melakukan rekonsiliasi. Berhentilah bertikai demi rakyat Indonesia.

Berfikirlah untuk keutuhan rakyat. Jangan hanya mengutamakan kenyamanan dan kepentingan sendiri. Masih banyak rakyat yang rasional, waras, tidak mau terkena dampak dari adu kuat kepentingan yang kalian perebutkan. Baik cebong dan kadrun harusnya mengintrospeksi diri. Menahan dirilah, tidak meneruskan saling dengki.

Jangan mau dimanfaatkan oligarki dan para pengusaha kapitalis. Mereka para bandar, elit berkepentingan selalu mencari kambing hitam dan tumbal. Tidak boleh rakyat yang kalian korbankan. Karena pertikaian kepentingan cebong dan kadrun, melalui narasi kebencian hanya membuat resah rakyat.

Begitupun, merasa paling benar. Menolak pemikiran baru yang dilontarkan atau diajukan pihak lain, ini bertanda pandangan yang anti demokrasi. Insya Allah pemerintah meneduhkan situasi ini. Menawarkan solusi, membangun khasanah, iklim indonesia sebagai rumah besar yang sejuk dan rukun. Memperkuat persatuan seluruh rakyat, tanpa ada diskriminasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun