Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Diperbudak Jabatan

8 April 2022   16:09 Diperbarui: 9 April 2022   14:55 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Jika
anda ingin menguji watak manusia, coba beri dia kekuasaan. Pernah dalam cerita kepemimpinan seseorang yang terbiasa merakyat, tiba-tiba berubah menjadi glamor dan kapitalis. Pengaruhnya karena mabuk jabatan. Kekusaan membuat amnesia. Semestinya jabatan membuat "kesolehan sosialnya" meningkat. Bukan malah kesombongan sosial yang dipamerkan.

Sebelumnya rutin melakukan interaksi sosial. Lalu berubah seketika. Hanya karena alasan sibuk mengatur kekuasaan "jabatan" membuat ia menjadi mis-realitas. Tidak lagi bersahabat dengan lingkungan sekitarnya. Merubah cara pandang dan gaya hidupnya sehingga menjadi anti sosial. Ironis.

Iwan Fals penyanyi populer Indonesia juga pernah mengingatkan dalam bait lagunya bahwa "jangan diperbudak jabatan". Begitu reflektif. Kritiknya terhadap pejabat publik begitu mengena. Jangan hanya lantaran jabatan, manusia diperbudak. Paradoks kepemimpinan yang semacam ini berpotensi mendatangkan bencana.

Tidak sedikit contoh kasus yang ditemukan. Jabatan dipertuhankan. Keberadaan pejabat publik seperti barang antik. Begitu berlebihan, sehingga semua pola komunikasi dengan publik menjadi kaku. Teralihkanlah pandangan terhadap jabatan yang melayani, malah dilayani.

Hedonisme dan kesombongan dilestasikan. Jabatan menjadi penjara baru bagi pejabat publik. Sesuatu yang destruktif. Kebiasaan "zoon" seperti KKN mengemuka. Keburukan dianggap sebagai sebuah warisan leluhur yang dihidupkan. Perilaku jahat dikira kearifan sejarah.

Publik yang mempunyai local genius, harus memberi teladan. Untuk sesamanya, agar kehidupan sosialnya penuh harmoni. Tenggelamlah apa yang disebut pertikaian manusia dengan manusia.

Sadarlah, bagi mereka yang diperbudak jabatan. Semua tidak akan kekal. Kemewahan dan kelebihan kekuasaan hanya sebatas asesoris kehidupan. Yang fungsinya melekat, atributif. Suatu kelak, ada waktunya kekuasaan dilepas. Kekuasaan meninggalkan kita, bahkan dunia akan kita tinggalkan.

Jangan menjadi sombong karena berkuasa. Tidak harus pamer harta, pamer kesombongan. Ingatkan diri kita bahwa sang khalik tidak menyukai hal-hal yang berlebihan. Kekuasaan itu titipan, juga tipuan. Jangan dipikir kekuasaan yang digunakan dengan arogan membuat anda bahagia.

Jadikanlah jabatan sebagai ladang dan jabatan untuk berbuat baik. Menjadi instrumen amal ibadah. Bukan tempat pertunjukan kesombongan. Kesombongan atas jabatan itu kini dipamerkan pejabat kita saat ini. Selain fasilitas mewah yang digunakan, mereka juga menggunakan asisten.

Belum lagi mentalitas pejabat publik yang hanya suka memerintah. Memarahi dan meminta dihormati. Lantas, mengabaikan hak, tidak memikirkan nasib kesejahteraan orang-orang yang diperintahnnya. 

Mereka yang berada dilingkarannya dianggap seperti babu. Tidak punya martabat, tidak punya tanggung jawab terhadap anak dan istrinya. Sungguh keterlaluan, jika mendapati pejabat publik yang seperti ini.

Tidak sedikit yang kita saksikan, saat jabatan dipegang atau berada di bawah kendali figur yang "kagetan", mereka bersikap over. Selain dirinya bersikap layaknya raja, keluarga juga ikut diseret kesana. 

Kondisi-kondisi semacam inilah yang membuat sebuah jabatan publik bermigrasi seolah-olah jabatan pribadi. Mereka menganggap jabatan yang diemban itu sebagai kesempatan meraup kekuasaan.

Lahirlah kesombongan massal. Bukan hanya bagi si pemegang jabatan publik, tapi telah meluas kesombongan itu kepada keluarganya. KKN merajalela. Membuat mereka lupa diri kalau jabatan tidak harus memperbudak mereka.

Jangan karena jabatan, teman dan orang-orang disekelilingnya menjauh atau dibuat jauh. Jabatan dipakai sebagai pagar, sekat. Yang melahirkan batasan antara dirinya dan lingkungan sekitarnya. Realita saat ini menyuguhkan itu. Tidak semestinya jabatan memperbudak kita.

Sekiranya untuk diri sendiri kita berlatih. Untuk apa?, tidak perlu jauh kita belajar merubah. Minimal untuk merubah diri sendiri agar tidak congkak. Lalu kebiasaan sederhana itu didistribusikan, disubsidi ke lingkungan orang-orang sekitar kita.

Malulah dengan gunung yang tinggi dan besar tapi tak pernah menyombongkannya kepada manusia. Bagaimana dengan manusia?, terutama dalam konteks kepemimpinan masih banyak pemimpin publik kita yang sombong. Berjarak dengan rakyat.

Lihatlah puncak dari kesombongan itu membuat mereka terlibat kasus korupsi. Itu sebabnya, ayo berfikir ulang wahai pejabat publik yang sombong. Karena kesombongan tidak pernah dapat menambah kebaikan bagi orang lain.

Erich Fromm, filosof Jerman pernah berkata di masa lalu, pemimpin adalah bos. Kini, pemimpin harus menjadi partner bagi mereka yang dipimpin. Pemimpin tak lagi bisa memimpin hanya berdasarkan kekuasaan struktural belaka.

Ungkapan di atas sejatinya menjadi referensi primer. Juga pengingat bagi pemimpin kita di Indonesia saat ini. Baik Presiden, Kepala Daerah, Menteri dan Lembaga Kabinet, pejabat publik umumnya yang digaji menggunakan uang rakyat. Melalui mengingat hakikat kepemimpinan semacam ini mendorong pemimpin publik untuk adil, dan tahu diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun