Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Role Model Politik, Memotret Sultan Tidore dan Namto Hui Roba

8 Maret 2022   11:39 Diperbarui: 8 Maret 2022   16:54 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


DARI sejumlah tokoh politisi di Provinsi Maluku Utara (Malut), nama Sultan Tidore, Husain Alting Sjah, SE.,MM, dan Ir. Namto Hui Roba, SH, sangat dikenal. Dapat disebut keduanya sebagai top of mind. Figur yang populer, juga populis. Dikenal santun, tokoh pelopor pemersatu Maluku Utara.

Mereka menjadi 'Taman Bunga' yang sejuk bagi kerukunan di Maluku Utara. Kombinasi majemuk. Era kolaborasi memberi kesempatan kepada kedua Senator ini untuk merajut kepentingan masyarakat. Baik Sultan Tidore Haji Husain, juga Namto (Anggota DPD RI periode 2019-2024) punya kepekaan yang tinggi pada kepentingan masyarakat. Politisi bermental pejuang.

Kedua anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) tersebut telah mewarnai panggung politik nasional. Memperjuangkan kepentingan masyarakat Maluku Utara, tidak mau menjadi pemimpin pikun yang lupa kepentingan masyarakat. Apalagi munafik, dan rakus. Mereka memiliki rekam jejak politik yang disegani. Pemahaman keindonesiaan yang komprehensif.

Inilah role model politik. Tidak berlebihan bukan saja di Maluku Utara, dalam skala regional Indonesia Timur, bahkan nasional Husain Sjah dan Namto menjadi cermin, legacy kemajemukan. Gambar besar dari yang kita sebut toleransi. Masyarakat boleh belajar nasionalisme dan religius dari kedua figur tersebut.

Semailah pikiranmu. Karena akal sehat itu pangkal dari semua pelipur lara. Maka dari itu, kita generasi muda sebagai middle class perlu mengambil bagian untuk belajar dari kedua figur ini. Husain Sjah sebagai Sultan Tidore, mengerti betul tentang historis Maluku Utara. Pemikiran keagamaannya sangat lengkap. Memahami kultur, sosio-ekonomi, kekerabatan juga. Lalu Namto sebagai sosok nasionalis sejati, memiliki keunggulan merajut pluralitas (kemajemukan).

Namto juga dikenal nasionalis-religius. Politisi yang mengerti keseimbangan bukan hanya semata teori. Melainkan prakteknya. Keselarasan dan distribusi keadilan benar-benar menjadi potret ukuran keberhasilan Namto. Sejak menjadi Bupati di Kabupaten Halmahera Barat periode 2005-2010, dan periode 2010-2015 Namto sukses menjaga kerukunan. 

Sembari merealisasikan mimpinya memajukan kesejahteraan masyarakat Halmahera Barat. Mewariskan Festival Teluk Jailo, dan ragam keberhasilan lainnya. Itu dikenal masyarakat. Kematangan berpolitik menjadi harga yang tidak bisa dibayar. Bagi Namto dedikasi untuk banyak orang merupakan sebuah kewjiban bagi pemimpin.

Namto punya sejarah kepemimpinan yang unik dan berharga. Anak dari seorang pejuang veteran bernama Hui Roba itu, merupakan anak berdarah pejuang bermental baja. Namto ingat betul pesan luhur mendiang ayahnya, jadilah dirimu yang utuh. Berdirilah dengan kedua kakimu sendiri. Dengan begitu, karakter jiwamu akan muncul. Begitu dalam pesan itu. Yang membuat dirinya penuh optimis mengaruhi bahtera kehidupan.

Antara Husain Sjah dan Namto, memang punya modalitas sosial masing-masing. Jika kolaborasi, keduanya akan menjadi kekuatan luar biasa. Sekarang, mereka sedang memperjuangkan nasib masyarakat Maluku Utara sebagai Senator di Senayan. Mereka menjadi brand politik baru bagi Maluku Utara. Telah populer di Jazirah al-Mulk atau yang kita kenal sekarang sebagai Maluku Utara.

Jazirah atau bumi para raja-raja ini mesti serius dan konsisten dirawat menuju khittahnya. Begitulah, Maluku Utara harus kembali ke khittah. Denyut sejarah pembangunan di Maluku Utara saat ini, belum maksimal dilaksanakan. Masih jauh dari harapan kita semua. Sejak dua periode KH. Abdul Gani Kasuba memimpin Provinsi Maluku Utara pemindahan Ibu Kota Provinsi ke Sofifi, rasanya masih terkatung-katung. Semua belum beres dilakukan. Miris memang. Kepemimpinan baru kedepan, harus lebih strong.

Tidak boleh lagi ada dominasi kekecewaan masyarakat atas kinerja pemerintah daerah Maluku Utara. Program tata ulang pembangunan, iklim politik menjadi perhatian prioritas. Kultur politik balas budi dan politik balas dendam di Maluku Utara wajib dihapus. Dihilangkan dari kasat mata, bahkan pikiran dan hati kita semua anak-anak Maluku Utara. Politik senitimentil, politik primordial hanya merusak pembangunan Maluku Utara tercinta.

Jazirah al-Mulk, yang merupakan asal mula nama asli pulau Maluku, tak boleh kehilangan peradabannya. Daerah para raja-|raja ini harus diselamatkan. Harus lebih maju dari sekarang. Jangan biarkan kemunduran demi kemunduran melilit Maluku Utara. Quo vadis Maluku Utara?, semua tidak lepas dari kepemimpinan. Maluku Utara kedepan memerlukan pemimpin yang kuat. Punya visi, lengkap pemahaman sejarahnya. Sehingga daerah tercinta ini dibangun tidak ahistoris. Tidak tercerabut dari akar sejarahnya.

Jangan sampai politisi abal-abal, calon pemimpin yang tidak mengerti anatomi dan esensi dari originalitas sejarah Maluku Utara memimpin rakyat Maluku Utara. Itu sama artinya, kita merelakan Maluku Utara menuju tatanan kehancuran. Berjalan tanpa identitas sejarah. Makin keluar dari adab, adat seatorang diabaikan atau sengaja dilupakan. Kearifan lokal diobok-obok. Maluku Utara di masa yang akan datang tidak boleh seperti itu.

Nilai adat "jou sengofa ngare" harus menjadi basis kerukunan masyarakat Maluku Utara. Agar harmonisasi tercapai, pemerintah dan masyarakat berada dalam kesadaran yang sama, saling menghormati. Memahami posisi masing-masing, lalu spirit pembangunan daerah menjadi benih dan kekuatan unggulan dalam memajukan Maluku Utara.

Membangun Maluku Utara secara proporsional dari perspektif kesejarahan jangan sampai keliru diletakkannya. Maluku Kie Raha (empat gunung), yaitu kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan pernah memiliki kejayaan. Ada pula kerajaan Loloda seperti dilupakan. Harusnya tak boleh hilang sama sekali dalam halaman sejarah Maluku Utara. Itu sebabnya, saya mengusulkan perlu dilakukan rekonsolidasi sejarah. Jangan ada eksistensi kesultanan atau kerajaan yang dilupakan perannya lagi.

Namto secara simbolik dan historis menjadi jembatan pengikat sejarah Maluku Utara. Menurut saya, Namto harus mengubah "mitos" demokrasi di Maluku Utara. Sebagai anak keturunan Loloda, Namto merepresentasikan dan bisa melengkapi tenunan sejarah Maluku Utara. Loloda tidak boleh hilang dari sejarah membangun Maluku Utara.

Kalau kita melacak jejak sejarah. Sebelumnya Moti Verbond (1322), menetapkan bahwa kerajaan di Maluku Utara dikala itu menjadi hanya empat. Padahal, seharusnya lima. Diantaranya, Ternate, Tidore, Jailolo, Bacan, dan Loloda.

Hanya saja peristiwa bersejarah tahun 1322 yang ditandai dengan Konferensi (pertemuan) di Pulau Moti itu tidak mengakomodasi keberadaan kerajaan Loloda. Alhasil, karena hanya dihadiri empat Kolano atau Kerajaan, yakni Ternate, Tidore, Makian, dan Moti. Maka ditetapkanlah Maluku Kie Raha. Jika mau sempurna, bisa kita sebut Maluku Kie Romtoha. Yang merupakan wujud dari dimensi keutuhan pluralitas di Maluku Utara.

Pertemuan empat utusan pimpinan Kerajaan itu untuk menyepakati persatuan guna mengamankan wilayah setempat. Barulah kemudian, Kesultanan atau Kerajaan Makian berpindah ke Bacan. Dan Moti berpindah secara geografis (kewilayahan) pemerintahan di Jailolo.

Menengok catatan sejarawan Adrian B Lapian, yang menyebut bahwa Maluku Kie Raha adalah konsep pemerintahan berbentuk konfederasi. Struktur itu kini telah bertransformasi menjadi pemerintahan Republik, yang demokratis. Idealnya pengelolaan pemerintahan selain lebih modern, juga harus lebih maju, beradab, dan profesional. Bukan malah terkebelakang. Kemudian, praktek-praktek penindasan, pembohongan, egoisme kesukuan masih dilanggengkan dalam produk kebijakan yang diskriminatif.

Kedua Senator asal Maluku Utara (Dokpri)
Kedua Senator asal Maluku Utara (Dokpri)
Maluku Utara sejatinya berada dalam pentas kolaborasi lima, Kesultanan atau Kerajaan (ditambah Loloda). Namto dapat merepresentasikan peran mengintegrasikan Ternate, Tidore, Jailolo, Bacan, dan Loloda. Dalam laku perbuatan dan dari relasi pertalian darah Namto telah mewujudkan cita-cita persatuan tersebut. 

Pada sisi yang lain, antisipasi kita agar pemimpin yang hanya mau memperkaya diri tidak memimpin Provinsi Maluku Utara. Jangan sampai terlahir pemimpin yang bertindak ugal-ugalan memimpin daerah Maluku Utara tercinta. Atas kekhawatiran itulah, kran demokrasi, giliran kepemimpinan harus dibuka.

Seperti kata Ir. Soekarno, Presiden pertama Indonesia, bahwa janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau sangat berguna sebagai kaca benggala daripada masa yang akan datang. Mari kita rangkai bersama, saling legowo. Beri kesempatan kepada mereka yang lebih layak memimpin Maluku Utara.

Ingatan kolektif masyarakat Maluku Utara tentang politik kesukuan dan SARA, menjadi luka bagi kita semua. Itu harus diobati. Meski proses ganti generasi terus berlanjut. Pada siklus historis, Sultan Husain Sjah, sangat berperan penting berada dalam aras itu. Beliau bisa disebut agen, elemen utama sebagai penegak sejarah Maluku Utara.

Untuk Namto, dalam penuturan dan canda tawa terlihat senyumnya yang tulus. Tidak semua politisi level nasional bergaya sederhana seperti Namto. Beliau punya gagasan besar untuk membangun Indonesia dari Timur. Namto adalah teka-teki. Dimana kepribadian dan strategi politiknya sukar ditakar. Ia tipikal pemimpin yang tegas dan disiplin.

Walau begitu, Namto dikenal terbuka, menghormati orang lain, jujur dan loyal pada pekerjaan. Seperti kata Namto dalam bukunya "Namaku Namto", kita membutuhkan keteladanan pemimpin, terutama disaat krisis datang tanpa henti seperti sekarang.

Setidaknya keresahan, kerinduan masyarakat Maluku Utara untuk terlahirnya pemimpin arif bijaksana, penyejuk, dan menjadi pengikat keberagaman segera terlahir di Maluku Utara kelak. Kita tidak sedang membutuhkan pemimpin yang hebat ceramah dan pidato politik. 

Melainkan pemimpin yang dapat menyelaraskan apa yang dikonsepkan, dibicarakan dengan kerjanya di lapangan. Bahkan bila perlu, sedikit bicara tapi banyak berbuat baik pada masyarakat.

Terakhir, saya menyimpulkan sosok Namto dengan beberapa ciri khasnya. Pertama, Namto bergaya homoris. Kedua, sebagai sosok yang humanis. Toleran, tergambar dalam perilakunya yang nasionalis. Ketiga, selalu menginspirasi. Keempat, pemimpin yang menghormati pendapat orang lain. Kelima, menerima masukan atau aspirasi publik. Semoga kita menjadi orang-orang terbaik, yang bermanfaat bagi orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun