Tidak boleh lagi ada dominasi kekecewaan masyarakat atas kinerja pemerintah daerah Maluku Utara. Program tata ulang pembangunan, iklim politik menjadi perhatian prioritas. Kultur politik balas budi dan politik balas dendam di Maluku Utara wajib dihapus. Dihilangkan dari kasat mata, bahkan pikiran dan hati kita semua anak-anak Maluku Utara. Politik senitimentil, politik primordial hanya merusak pembangunan Maluku Utara tercinta.
Jazirah al-Mulk, yang merupakan asal mula nama asli pulau Maluku, tak boleh kehilangan peradabannya. Daerah para raja-|raja ini harus diselamatkan. Harus lebih maju dari sekarang. Jangan biarkan kemunduran demi kemunduran melilit Maluku Utara. Quo vadis Maluku Utara?, semua tidak lepas dari kepemimpinan. Maluku Utara kedepan memerlukan pemimpin yang kuat. Punya visi, lengkap pemahaman sejarahnya. Sehingga daerah tercinta ini dibangun tidak ahistoris. Tidak tercerabut dari akar sejarahnya.
Jangan sampai politisi abal-abal, calon pemimpin yang tidak mengerti anatomi dan esensi dari originalitas sejarah Maluku Utara memimpin rakyat Maluku Utara. Itu sama artinya, kita merelakan Maluku Utara menuju tatanan kehancuran. Berjalan tanpa identitas sejarah. Makin keluar dari adab, adat seatorang diabaikan atau sengaja dilupakan. Kearifan lokal diobok-obok. Maluku Utara di masa yang akan datang tidak boleh seperti itu.
Nilai adat "jou sengofa ngare" harus menjadi basis kerukunan masyarakat Maluku Utara. Agar harmonisasi tercapai, pemerintah dan masyarakat berada dalam kesadaran yang sama, saling menghormati. Memahami posisi masing-masing, lalu spirit pembangunan daerah menjadi benih dan kekuatan unggulan dalam memajukan Maluku Utara.
Membangun Maluku Utara secara proporsional dari perspektif kesejarahan jangan sampai keliru diletakkannya. Maluku Kie Raha (empat gunung), yaitu kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan pernah memiliki kejayaan. Ada pula kerajaan Loloda seperti dilupakan. Harusnya tak boleh hilang sama sekali dalam halaman sejarah Maluku Utara. Itu sebabnya, saya mengusulkan perlu dilakukan rekonsolidasi sejarah. Jangan ada eksistensi kesultanan atau kerajaan yang dilupakan perannya lagi.
Namto secara simbolik dan historis menjadi jembatan pengikat sejarah Maluku Utara. Menurut saya, Namto harus mengubah "mitos" demokrasi di Maluku Utara. Sebagai anak keturunan Loloda, Namto merepresentasikan dan bisa melengkapi tenunan sejarah Maluku Utara. Loloda tidak boleh hilang dari sejarah membangun Maluku Utara.
Kalau kita melacak jejak sejarah. Sebelumnya Moti Verbond (1322), menetapkan bahwa kerajaan di Maluku Utara dikala itu menjadi hanya empat. Padahal, seharusnya lima. Diantaranya, Ternate, Tidore, Jailolo, Bacan, dan Loloda.
Hanya saja peristiwa bersejarah tahun 1322 yang ditandai dengan Konferensi (pertemuan) di Pulau Moti itu tidak mengakomodasi keberadaan kerajaan Loloda. Alhasil, karena hanya dihadiri empat Kolano atau Kerajaan, yakni Ternate, Tidore, Makian, dan Moti. Maka ditetapkanlah Maluku Kie Raha. Jika mau sempurna, bisa kita sebut Maluku Kie Romtoha. Yang merupakan wujud dari dimensi keutuhan pluralitas di Maluku Utara.
Pertemuan empat utusan pimpinan Kerajaan itu untuk menyepakati persatuan guna mengamankan wilayah setempat. Barulah kemudian, Kesultanan atau Kerajaan Makian berpindah ke Bacan. Dan Moti berpindah secara geografis (kewilayahan) pemerintahan di Jailolo.
Menengok catatan sejarawan Adrian B Lapian, yang menyebut bahwa Maluku Kie Raha adalah konsep pemerintahan berbentuk konfederasi. Struktur itu kini telah bertransformasi menjadi pemerintahan Republik, yang demokratis. Idealnya pengelolaan pemerintahan selain lebih modern, juga harus lebih maju, beradab, dan profesional. Bukan malah terkebelakang. Kemudian, praktek-praktek penindasan, pembohongan, egoisme kesukuan masih dilanggengkan dalam produk kebijakan yang diskriminatif.
Maluku Utara sejatinya berada dalam pentas kolaborasi lima, Kesultanan atau Kerajaan (ditambah Loloda). Namto dapat merepresentasikan peran mengintegrasikan Ternate, Tidore, Jailolo, Bacan, dan Loloda. Dalam laku perbuatan dan dari relasi pertalian darah Namto telah mewujudkan cita-cita persatuan tersebut.Â