Berkaitan dengan tradisi literasi juga. Soekarno, Presiden pertama Indonesia pernah mengatakan bahwa tulislah tentang aku dengan tinta hitam atau tinta putihmu. Biarlah sejarah membaca dan menjawabnya. Betapa luas, tanpa tersekat waktu ternyata kekuatan literasi itu.
Bahkan Buya Hamka, seorang ulama, aktivis dan sastrawan Indonesia (1908-1981), menggambarkan terkait literasi dalam kalimatnya. Membaca buku-buku yang baik berarti memberi makanan rohani yang baik. Artinya, membaca juga harus dibarengi dengan proses berfikir dan menulis.
Seperti disampaikan Albert Einstein, Ahli Fisika dari Jerman dan AS (1879-1955), dikatakannya orang yang terlalu banyak membaca dan terlalu sedikit memakai otak akan jatuh kepada kebiasaan malas berpikir. Kita berikhtiar meyelaraskan itu. Membunuh kultur buruk malah mikir, dengan cara meningkatkan semangat menulis. Membaca, berdiskusi, dan menulis merupakan satu rangkaian.
Spirit kita membangun literasi sejatinya berada dalam satu frekuensi. Berfikir mandiri, juga futuristik. Semoga kedepan lebih banyak lagi bermunculan Kampung Literasi. Yang menjadi proyek perubahan kita semua. Masyarakat di pelosok Desa, maupun di Kota terdukasi dengan baik, dan merata.
Atau Desa/Kelurahan yang menjadi pilot project, atau role model bagi gerakan literasi di Indonesia. Pemerintah juga tidak pasif, tidak menutup mata untuk memberi support terhadap gerakan tersebut. Memperkuat Indonesia, memang harus memperkuat sumber daya manusia. Anak-anak bangsa segera diberi modal, belajar meliterasi dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H