Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masa Depan Parpol Vs Kegilaan Oligarki

20 Februari 2022   21:52 Diperbarui: 20 Februari 2022   22:00 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parpol harus progresif (Dokpri)


KOMPLEKSITAS
masalah yang dihadapi parpol (partai politik) di era demokrasi semi liberal begitu kompleks. Tantangan zaman yang datang seiring perubahan, membutuhkan kepemimpinan publik yang kuat. Elit parpol mesti berfikir futuristik. Cermat dalam merumuskan kebijakan, dan bertanggung jawab dalam tataran aktualisasinya.

Indonesia harus bangkit. Salah satu penyebab kemunduran berdemokrasi, karena parpol tidak progresif melahirkan kepemimpinan publik yang matang. Tidak mudah parpol menjaga eksistensinya memang. Menjaga peran dan fungsinya, parpol pasti memerlukan keseimbangan gerak yang massif. Parpol harus eksis. Menumbuhkan dan memproduksi narasi percakapan yang produktif.

Bagaimana tidak, di tengah derasnya dunia digitalisasi informasi yang tak luput dari hoax. Kompetisi di era globalisasi juga membuat parpol menemui berbagai permasalahan. Jika pasif, kekurangan metode kampanye, parpol akan tenggelam. Ditinggalkan. Bahkan punah.

Esensinya parpol yang kehilangan identitas akan mengalami mis-orientasi. Dan itu sama artinya parpol tersebut menunggu kepunahannya. Tanda kepunahan parpol itu berupa hilangnya fungsi kaderisasi dan sosialisasi politik.

Untuk aspek kaderisasi di internal parol, akan diuji lagi. Sebab, tahun 2024 telah di depan mata. Dimana jika parpol mengalami krisis kader, berarti parpol itu akan mengimpor figur di luar parpol tersebut untuk diusung menjadi calon Presinden (Capres) atau calon Wakil Presiden (Cawapres).

Bila mesin kaderisasi macet, tidak berfungsi sebagaimana adanya. Situasi itu pasti berdampak logis pada terjadinya kehilangan stok kepemimpinan publik. Dimana parol sejatinya tidak harus krisis terhadap kepemimpinan.

Kenapa parpol seperti terdesak dan pasrah mengakomodir figur di luar parpol untuk diusung sebagai Capres dan Cawapres Republik Indonesia (RI)?. Karena fungsi parpol tidak dioptimalkan dengan baik. Mestinya nafas kaderisasi parpol dipacu.

Kematian parpol akan terjadi di tahun Pemilu 2024, jika Pilpres 2024 hanya mengajukan atau merekomendasikan Capres dan Cawapres dari figur-figur non-parpol. Sungguh menyedihkan. Kita berharap parpol tidak mempermalukan dirinya sendiri.

Jangan karena alasan figur yang merupakan kader parpol lemah elektabilitas dan popularitasnya, lalu parpol mengusung tokoh di luar parpol. Harusnya, parpol merancang skenario, membuat kanal, format, mengatur panggung yang bisa dipentaskannya.

Artinya, panggung politik 2024 harus diwarnai kader parpol. Bukan pasrah pada keadaan. Padahal kalau parpol konsisten dan menetapkan konsensus lintas parpol. Maka kader-kader terbaik parpol yang sejatinya diusung menjadi Capres, Cawapres.

Tapi begitulah, elit parpol di Indonesia juga rasanya masih nyaman dengan mengusung figur Capres, dan Cawapres di luar parpol. Mereka yang tidak digodok, tidak dididik dari parpol sebetulnya tidak layak, tidak etis diusulkan parpol. Itupun, bila parpol mau menjaga wibawa, marwah, dan reputasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun