Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Drama Politik dan Framing Media Massa

20 Februari 2022   10:51 Diperbarui: 20 Februari 2022   10:57 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahayanya framing media mass (Ensipedia.id)


BURSA
Capres Republik Indonesia (RI), juga Cawapres begitu ramai. Satu persatu nama publik figur, tokoh nasional mencuat. Media massa dan media sosial tentu punya peran signifikan mengorbitkan mereka. Para Capres, Cawapres dikenal publik karena media (perantara).

Rakyat mulai mendapat tambahan pengetahuan soal model, karakter dan kualifikasi Capres, Cawapres. Ada yang diidentikkan dengan Capres nasionalis, religius, kader parpol dan bukan. Sipil, militer, birokrat, politisi, dan pengusaha. Sebagiannya telah memiliki rekam jejak memimpin rakyat. Yang lainnya belum.

Semisal Kepala Daerah yang mencuat sebagai bakal Capres, Cawapres. Ada yang terlahir dari internal partai politik, pekerja partai, akademisi. Dan ragam kemunculan Capres dan Cawapres lainnya. Latar belakang tersebut tentu memberi sumbangsih tersendiri bagi mereka. Tentu untuk memperkuat posisi masing-masing pihak dalam panggung politik.

Masuk ke ranah yang paling penting untuk dibahas. Personifikasi kepada beberapa tokoh politik terbaca, disampaikan dan diketahui rakyat umumnya dari media massa. Berapa pentingnya peran media massa (termasuk medsos). Framing media massa sangatlah berpengaruh. Naik turunnya popularitas dan elektabilitas relatif bergantung pada media massa.

Dengan alat ukur lain adalah Lembaga Survei, Polling dan pemberitaan media. Pembingkaian (framing) seperti ini tidak boleh diabaikan. Dampaknya meluas dan juga efektif. Silahkan diperiksa, nama Prabowo, Ganjar, Anies, Airlangga, AHY, Cak Imin, Erick Thohir, Puan Maharani, dan lainnya. Sederet nama di atas begitu intensif menghiasi media massa. Wajarlah mereka terkenal.

Selain itu, fariabel yang menguatkan ketokohan seseorang, kecintaan rakyat terhadapnya. Juga disubsidi dari hasil racikan drama politik. Yang dimaksud drama politik yaitu perilaku mencari sensasi. Agar media massa terus memotret, memuat, atau memberitakan figur tertentu.

Di Indonesia, praktek politik yang dimulai dengan drama selalu saja kita jumpai. Tak ada drama dan tipu-tipu sepertinya tidak lengkap dalam percaturan politik di tanah air. Perang retorika politik, saling lempar satire hingga fitnah keji dilontarkan. Bahkan bukan hanya politisi, tapi juga boneka bentukan politisi. Boneka dalam bentuk pembela, penghasut, dan yang menyerang. Ada kubu buzzeRP vs pendukung tokoh yang ketertarikannya karena hal simbolik.

Naskah demi naskah drama dibaca, lalu dijalankan secara apik. Aktor politik begitu lihai memainkannya. Namun sayang seribu sayang, sebagian besar rakyat kita telah mengetahui trik ini. Rakyat sudah pintar, jangan dibodohi terus. Isu politik dikemas, membangun opini publik dengan cara seolah-olah terdzolimi juga sudah diketahui rakyat.

Bahwa semua itu bualan, dan hanya bertujuan mencari simpati rakyat. Sukar dirajut kebersamaan politik yang bertahan dalam waktu lama. Siklusnya, paling mentereng lima tahun. Itupun penuh gontok-gontokan. Bukan karena saking dinamisnya kita berdemokrasi, malainkan adanya mentalitas monopoli, rakus, dan senang menggunting dalam lipatan dari sesama politisi.

Ketahuilah, drama politik sering ditularkan atau dibangun dalam bentuk cara pandang. Berlabel ideologisasi, maupun paradigma berpikir otentik. Nyatanya malah yang didapat hanyalah politik pembelahan. Di internal partai politik saja, para politisi itu bertikai rebut posisi. Mencari kedekatan dengan Ketua Umum Partai, lantas merendahkan harga diri politisi lainnya.

Ketahuilah, sampai Indonesia bubar sekalipun jika watak politisi masih dibentuk media massa, maka peradaban politik kita tidak akan pernah maju. Sebab, idealisme media massa di Indonesia saat ini belum bisa kita harapkan memberi solusi kemajuan Indonesia. Media masih dikuasai interaksi industrialisasi media. Orientasi profit selalu menjadi mindset utamanya. Ini yang bahaya, sehingga etika moral dan kemajuan bersama tidak mendapat tempat yang layak.

Framing media yang membuat para Capres (Calon Presiden) dan Cawapres (Calon Wakil Presiden) terkondisikan. Diarahkan pada zona atau skala tertentu. Dibuatkan ranking, kondisi itu diperkuat lagi dengan hadirnya Lembaga Survei, Riset dan Polling. Habislah mereka calon pemimpin yang punya konsep, tau bekerja, tapi tidak tersambung dengan media massa.

Tidak terkoneksi dengan Lembaga Survei maupun Polling, maka nama mereka tidak ada mencuat. Publik tidak akan kenal. Disinilah ruang kelemahan kita membuat pasar. Marketing politik bermain dalam ruang-ruang dan pentas seperti ini. Sederhananya, bakal Capres dan bakal Cawapres ditentukan media massa bersama Lembaga Survei, Riset dan Polling.

Figur terbaik sekalipun, jika namanya menghilang dari radar (quesioner) Lembaga Survei, pasti tidak akan dikenal publik. Mekanisme tekni meramu pertanyaan dalam quesioner tentu para ahli, konsultan, dan praktisi Lembaga Survei lebih mengerti ini. Kalau kita membaca peta politik, selera elit politik, dan keberadaan rakyat, gampang memetakannya. 

Bahwa Capres dan Cawapres hanya diatur beberapa pihak. Termasuk parpol, elit penguasa dan pemodal. Makin jalan muluslah jika konspirasi itu dijalankan media massa. Melalui framing pemberitaan media, keburukan, kebohongan, kejahatan yang diberitakan menjadi kebaikan berulang-ulang, akan menjadi kebaikan hasilnya. Beginilah bentuk pembohongan, dusta, kejahatan modern.

Ketika beberapa elemen penting ini sepakat memajukan pasangan Capres tertentu, pasti beres semuanya. Urusan teknis membangun citra mudah dilakukannya. Artinya apa?, Pilpres 2024 menurut saya sudah ditetapkan Capresnya sekarang. Hanya rakyat awam yang belum mendeteksinya. Bagi tokoh kunci, pengatur politik nasional, hanya ini sudah final.

Hanya saja informasi tersebut masih ditutup rapi. Bagi pihak-pihak tertentu yang mengskenariokan paslon Capres Indonesia, sejak Jokowi dilantik periode kedua juga jagoan untuk menggantikan Jokowi sudah disiapkan. Mapping politik yang jangka panjang ini tentu melibatkan oligarki, mereka yang mengatur ini bersama pemodal (bandar dan cukong).

Lalu media massa dan Lembaga Survei ditarik sebagai bagian penting dalam urusan propaganda pemenangan. Skenario besarnya hanya mereka, orang-orang tentu yang mengetahuinya. Drama politik memang berkait erat dengan framing pemberitaan Media massa. Paket hemat dalam desain pemenangan politik, disinilah kuasa uang menjadi penentu penting (bagi mereka).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun