KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia (RI) periode 2022-2027 sedang menunggu proses Fit and Proper Test (FPT). Peran konstitusional, fungsional dan struktural dari Penyelenggara Pemilu ini amat penting.Â
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (Mereka para Komisioner bisa memperkuat demokrasi. Atau sebaliknya, melemahkan demokrasi. Berdasarkan jadwal dari Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 sudah memasuki tahapan uji kelayakan dan kepatutan yang nantinya akan dilaksanKan pada 14-17 Februari 2022. FPT dilakukan Komisi II DPR RI.
Publik tentu menaru harap agar proses FPT dilaksananakan secara selektif dan sebenar-benarnya. Jangan diulangi lagi insiden memalukan, dimana skandal amoral dilakukan Komisioner KPU maupun Bawaslu. Skandal amoral itu bisa berupa praktek korupsi, tindakan asusila. Tukar tambah kewenangan, pergeseran suara, kompromi kepentingan.
Sampai menggadaikan integritas, dan kejahatan demokrasi lainnya yang dilakukan saat Pemilu. Seyogyanya nilai demokrasi sekecil apapun jangan dibunuh. Tidak boleh ada sedikitpun penyelewengan hak-hak demokrasi rakyat. Regulasi Pemilu menjadi panglima, pedoman, menjadi kitab bagi seluruh Penyelenggara Pemilu. Bukan alat bargaining politik untuk mendapatkan uang dan jabatan.
Diharamkan tukar guling kepentingan dilakukan Komisioner KPU dan Bawaslu. Baik dari pusat, sampai ke daerah-daerah. Praktek licik dan jahat membunuh demokrasi dilakukan. Maaf Penyelenggara Pemilu harus bertanggung jawab. Namun saja sulit ditangkap, diberikan sanksi secara tegas. Seluruh pertikaian, proses Pemilu berakhir pada kompromi kepentingan (damai).
Praktek buruk merusak demokrasi tidak harus dipertahankan di tahun 2024. Itu sebabnya starting pointnya ialah bersihkan, perketat kompromi politik sejak dini. Dimana perekrutan atau seleksi Komisioner KPU serta Komisioner Bawaslu menjadi pintu masuk paling efektif dan strategis. Proteksi ketat perlu dilakukan dari hulu.
Bahkan sejak penentuan atau penetapan siapa yang akan menjadi Tim Seleksi Komisioner KPU dan Bawaslu juga menjadi proyek politik yang sering dimainkan. Proses konstitusional, tapi pengkondisian taknis dan mekanisme penilaian masih subyektif.
Kemenangan Pemilu 2024, miniaturnya kalau kita mau jujur dapat dibaca dari siapa yang mendominasi, mengendalikan Komisioner KPU dan Bawaslu RI. Karena polanya nanti satu pintu atau sistem satu kanal. Ini yang akan dimainkan. Pola kontrol dan pengendaliannya aman, untuk kepentingan sepihak.
Ketika selesai FPT lalu dilakukan voting, lantas hasilnya Komisi II DPR RI memenangkan siapa sebagai suara terbanyak sesuai ranking. Maka disitulah kita bisa melihat peta kekuatan politiknya.Â
Secara garis besar kalau membaca komposisi Komisi II DPR RI. Fraksi Golkar, PDI Perjuangan, NasDem, Gerindra, kemudian seterunya Fraksi lainnya akan menguasai KPU dan Bawaslu.
Penguasaannya akan bersifat masif. Dari KPU dan Bawaslu RI, sampai ke KPUD serta Bawaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota. Mudah rumuskan diorkestrasi, sehingga secara kasat mata publik sulit mambaca bahwa ada permainan curang kong kalikong dimainkan.Â
Didesain rapi, agar kerja-kerja Wakil Rakyat bersama Presiden (Mendagri) yang melahirkan KPU, Bawaslu tetap terlihat berwibawa. Dianggap sebagai orang suci atau malaikat. Sederhanya, Komisioner KPU dan Bawaslu bukan orang-orang terbaik. Melainkan mereka yang beruntung saja.
Cara terbaik menghentikan adanya kecurangan Pemilu perlu dilakukan secara dini. Dan melalui antisipasi disaat penentuan Tim Seleksi KPU dan Bawaslu. Konstruksinya dalam skala nasional maupun daerah, Tim Seleksi KPU maupun Bawaslu menjadi rebutan.
Dari sanalah peluang menitipkan orang di lembaga Penyelenggara Pemilu dilakukan. Publik tahu betul bahwa Tim Seleksi merupakan individu-individu berintegritas, independen dan profesional. Sedihnya, sebagian besar hanyalah titipan yang dijadikan budak.
Lihat saja nanti, jika Tim Seleksi dikuasai Ormas tertentu atau Parpol tertentu, produknya tidak akan lari dari situ. Praktek tendensius ini bukan barang baru di Indonesia. Telah mengakar, itu sebabnya menjadi kesusahan kita melahirkan demokrasi berkualitas kalau sistem dan aktor-aktor yang diberi kepercayaan menjadi Tim Seleksi sampai dengan Penyelenggara Pemilu bermental KKN.
Situasi saling mengamankan kepentingan inilah yang membuat kepemimpinan publik nantinya juga terlahir dengan penuh kecurangan. Tidak steril, tidak alamiah dari proses demokratisasi kepemimpinan itu lahir. Malah proses pelaksanaan demokrasi nanti hanyalah menjadi sesuatu yang formalitas semata. Sedangkan hasilnya sudah merupan by setting atau by skenario.
Modal untuk menang menjadi anggota KPU dan Bawaslu bukan pure kualitas diri, pengalaman, integritas. Melainkan gerbong organisasi, relasi, dan uang (materi). Dari satu tahapan ke tahapan seleksi lainnya juga berlangsung penuh perjuangan begosiasi. Pendekatan informal sangat menentukan. Praktek culas itu percaya atau tidak akan sangat terasa.
Tidak sekedar spekulasi, pada Pemilu 2019 saya pernah menjadi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) sebagai Ketua. Lembaga adhoc, satu level dibawah KPU Kota/Kabupaten. Sekelas adhoc saja proses seleksinya penuh dugaan kecurangan. Karena praktek tadi, mengamankan gerbong dan kepentingan parsial masing-masing pihak.
Politik balas budi dijalankan. Misalkan saja, oknum anggota KPU yang aktif bekerja mungkin karena pernah dibantu Tim Seleksi atau donatur tertentu. Lalu, setelah itu titipan mereka akan dikawal si oknum KPU tersebut. Ruang konsesi politik terlihat disini, begitu miris.
Praktek buruk yang marak harus dihilangkan Presiden dan lembaga DPR (Komisi II DPR). Serius, hidup dan matinya demokrasi kita ditentukan disini. Rusak atau diselamatkan, diubah menjadi baik. Diberi penguatan, kesempatan itu terletak dalam seleksi anggota KPU dan Bawaslu yang tidak lain menjadi momentum bagi parpol serta stakeholder Pemilu untuk merundingkan kepentingannya.
Dalam seleksi KPU dan Bawaslu, sudah pasti parti politik ikut bermain. Begitupun, Ormas, juga kepentingan kekuasaan (pemerintah). Kesepakatan politik akan dibangun. Karena Penyelenggara Pemilu tidak lain adalah miniatur parpol, miniatur Ormas, miniatur kepentingan representatif, dan miniatur negara.
Manakala seluruh Penyelenggara Pemilu adalah bandit dan mafia, percayalah rekayasa besar-besaran dalam Pemilu kita di tahun 2024 akan terjadi. Resikonya, rakyat saling bunuh-bunuhan karena ulah Penyelenggara Pemilu yang curang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H