Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Potensi Jokowi 3 Periode, Bisakah? Bahlil Jadi Pahlawan

21 Januari 2022   13:42 Diperbarui: 21 Januari 2022   14:11 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Amas Mahmud (Dokpri)

TENSI politik di republik ini selalu saja berjalan naik turun. Tidak stagnan. Yang aktual, tentang wacana Presiden 3 periode atau masa jabatannya Pak Jokowi sebagai Presiden diperpanjang sampai tahun 2027. Sebuah isu yang menarik. Politik bukanlah sesuatu yang subhat atau samar-samar.

Melainkan tentang hal kemanusiaan. Yang sudah pasti, jelas dan terang-benderang. Mengurusi kepentingan hajat hidup orang banyak. Hingga saat ini yang membuat wajah dan rumah besar politik Indonesia tercemar, kotor adalah aktor politik. Mereka yang kekurangan pengetahuan dan etika politik.

Faktor tersebutlah yang menyebabkan para politisi mendapat stigma buruk. Padahal tidak semua politisi senang mengambil jalan pintas. Namun karena yang dirasakan rakyat seperti itu, dimana pendekatan politisi kepada rakyat hanya bersifat kepentingan sesaat.

Sehingga demikian, politik uang atau politik transaksional turut mewarnai nalar politik. Ironis, hasilnya semua politisi dianggap seperti demikian. Kotor, amoral, malas berfikir, tak mau berjuang tulus untuk rakyat dan memposisikan rakyat sebagai objek ekspolitasi.

Begitu sempit dan memalukan. Karena perbuatan satu dua orang, satu dua kelompok, politisi lainnya ikut merasakan getahnya. Generalisasi dari persepsi publik yang buruk terhadap personifikasi politisi meluas kemana-mana. Rakyat kota, sampai rakyat di pedesaan juga nyaris satu frekuensi menyimpulkan tentang watak politisi yang buruk.

Politisi disebut buruk. Lalu politik dianggap samar-samar. Tidak jelas arah dan tujuannya. Itulah persepsi publik. Realitas juga sengaja merepresentasikan politik kita seperti ''TPA''. Ternyata tujuan politik sangat mulia. Yakni untuk mensejahterakan rakyat.

Bukan mempolarisasi, menciptakan pertikaian dan kegaduhan di tengah-tengah rakyat. Sering kali memicu salah tafsir dalam politik disebabkan dari kurangnya edukasi. Juga budaya literasi dari para politisi kita. Mereka lebih menganggap diri sebagai corong rakyat.

Yang kerjanya hanya bicara. Kemudian, mengecilkan diri, mengabaikan pada aspek praktek keteladanan sosial. Tindakan nyata dari ''kekurangan'' tersebut dimanifestasikan melalui praktek politik materialistik. Motivasi politik elektoral bukan pada ranah pengabdian, pelayanan.

Melainkan menjadikan dirinya sebagai ''raja''. Hanya mau dilayani rakyat. Kesulitan untuk menempatkan diri di tengah rakyat. Paling nampak dari perilaku ini ialah yang sering dipertontonkan para wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD, dan top eksekutif). Alhasil, mereka berjarak dengan rakyat.

Bermaksud mendekatkan diri dengan rakyat, malah kenyataannya mereka menciptakan sekat. Ini soal perilaku yang telah dijadikan gaya hidup. Politik bukanlah subhat, melainkan jalan suci bekerja untuk rakyat. Kepentingan rakyat yang menjadi orientasi perjuangan politik.

Politik juga bukan sekedar pembentukan dan pembagian kue kekuasaan. Mirisnya, polarisasi kepentingan yang sistematis tersebut mengorbankan nama baik politik. Dengan ragam alibi. Rakyat menjadi trauma, menganggap politik sebagai rute merusak moralitas publik.

Politik dianggap samar-samar (subhat), oleh mereka yang tidak mengerti. Hal tersebut dapat kita pahami. Karena faktor pengetahuan dan literasi. Untuk ukuran politisi, tidak etis mengartikulasikan politik sebagai sesuatu yang subhat. Sangat melampawi batas.

Sebab politik itu membawa nilai humanisme. Memiliki spirit juang untuk kemaslahatan umat atau rakyat. Jelas, bukan hitam putih. Politik itu melingkupi nasib rakyat. Jika ada case, sebagian konstituen menilai politik hanyalah praktek picik dan saling rebut kepentingan. Berarti partai gagal memainkan perannya sebagai mesin edukasi politik.

Garis politik sangatlah jelas, dan nampak. Bukan abu-abus atau ''banci'', mendua, ambigu. melainkan sebuah street menuju kebaikan. Nabi peran politik itu satu paket dengan dakwah bagi umat beragama untuk menerapkan hal-hal kebaikan.

Menularkan budaya positif. Mengedepankan kejujuran, sopan santun, adil, ikhlas melayani, tidak munafik atau menikung. Politisi yang tampil apa adanya. Menyampaikan aspirasi rakyat secara lugas dan memperjuangkannya. Tidak menjadi politisi yang doyan membully.

Bagi Umat Islam, Nabi Besar Muhammad SAW juga mengajarkan politik. Tentang adab, perilaku baik dan amanah. Seriuan moral dan etika politik. Dan yang dilakukan Nabi tersebut menjadi hujjah (tanda, rujukan, bukti) bagi segenap Umat Islam untuk berpolitik yang benar.

Hujjah bersifat universal. Sehingga tidak menutup ruang bagi siapapun di luar Islam yang mau memakai prinsip tersebut dalam praktek politiknya. Tradisi jahiliyah ditiadakan. Yang dikedepankan adalah kelemah-lembutan dan kasih sayang.

Menjadi politisi rumus dasarnya yakni amanah. Ia dapat dipercaya rakyat. Juga harus memiliki wawasan yang luas, cerdas, pandai atau yang disebut fathanah. Politisi terlebih penguasa (eksekutif maupun legislatif) mesti mampu menyampaikan (tabligh) nilai-nilai kebenaran.

Bukan ikut arus. Berdiam diri, pasif dan bersekongkol dengan kejahatan di depan mata. Dalam situasi politik yang dihiasi praktek jahat, saling khianat, maka diperlukan politisi tegas yang berani melakukan perlawanan terhadap kejahatan. Mesti dengan segala resiko yang akan diterima.

Harapan kita tentang politisi tegas, berani dan jujur menyampaikan kebanar di era saat ini sulit terlihat. Jika ada, mereka terbenam. Peran-perannya tidak terlihat. Akhirnya mereka menjadi bak orang asing, ''orang gila''. Yang pandai menggadaikan idealisme dan pelacur politik malah mendapat tempat.

Mereka yang konsisten memelihara idealisme, integritas malah diberangus. Dijadikan musuh bersama. Dikerdilkan, dituduh macam-macam. Apalagi yang tegas, konsisten itu mengambil posisi mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah. Dipastikan, karirnya akan tamat.

Ketika wacana Jokowi 3 (tiga) periode. Peluang masa jabatannya diperpanjang sampai 2027, bisa terjadi. Dalam sejarah pemerintahan kita di Indonesia ini bukan kali pertama. Jika aparatur negara (TNI, POLRI dan ASN) ditambahkan Parpol, BIN, BAIS menyatu. Yang digerakkan kaum pemodal. Maka dipastikan Jokowi tiga periode terwujud.

Bukan lagi menjadi isu liar. Melainkan berubah menjadi fakta. Kanda Bahlil Lahadalia yang sengaja membuat letupan, test ombak. Dengan menyebut 'kalangan pengusaha menghendaki Jokowi tiga periode'. Dalam politik inilah penanda. Bukan kaleng-kaleng juga Kanda Bahlil Lahadalia itu, beliau jebolan HMI dan mantan Ketua Umum Badan Pengurus Pusat HIPMI.

Meski tidak tepat waktunya Bahlil muncul sebagai Pahlawan. Politisi muda yang satu ini tentu mau menjadi yang pertama dan diingat Presiden Jokowi karena berani bermanuver. Terlepas dari kontroversi, Balil telah mendapat poin. Perhatian publik tertuju padanya. Tentu yang paling diharapkan ialah respon Jokowi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun