Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Potensi Jokowi 3 Periode, Bisakah? Bahlil Jadi Pahlawan

21 Januari 2022   13:42 Diperbarui: 21 Januari 2022   14:11 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Amas Mahmud (Dokpri)

Politik dianggap samar-samar (subhat), oleh mereka yang tidak mengerti. Hal tersebut dapat kita pahami. Karena faktor pengetahuan dan literasi. Untuk ukuran politisi, tidak etis mengartikulasikan politik sebagai sesuatu yang subhat. Sangat melampawi batas.

Sebab politik itu membawa nilai humanisme. Memiliki spirit juang untuk kemaslahatan umat atau rakyat. Jelas, bukan hitam putih. Politik itu melingkupi nasib rakyat. Jika ada case, sebagian konstituen menilai politik hanyalah praktek picik dan saling rebut kepentingan. Berarti partai gagal memainkan perannya sebagai mesin edukasi politik.

Garis politik sangatlah jelas, dan nampak. Bukan abu-abus atau ''banci'', mendua, ambigu. melainkan sebuah street menuju kebaikan. Nabi peran politik itu satu paket dengan dakwah bagi umat beragama untuk menerapkan hal-hal kebaikan.

Menularkan budaya positif. Mengedepankan kejujuran, sopan santun, adil, ikhlas melayani, tidak munafik atau menikung. Politisi yang tampil apa adanya. Menyampaikan aspirasi rakyat secara lugas dan memperjuangkannya. Tidak menjadi politisi yang doyan membully.

Bagi Umat Islam, Nabi Besar Muhammad SAW juga mengajarkan politik. Tentang adab, perilaku baik dan amanah. Seriuan moral dan etika politik. Dan yang dilakukan Nabi tersebut menjadi hujjah (tanda, rujukan, bukti) bagi segenap Umat Islam untuk berpolitik yang benar.

Hujjah bersifat universal. Sehingga tidak menutup ruang bagi siapapun di luar Islam yang mau memakai prinsip tersebut dalam praktek politiknya. Tradisi jahiliyah ditiadakan. Yang dikedepankan adalah kelemah-lembutan dan kasih sayang.

Menjadi politisi rumus dasarnya yakni amanah. Ia dapat dipercaya rakyat. Juga harus memiliki wawasan yang luas, cerdas, pandai atau yang disebut fathanah. Politisi terlebih penguasa (eksekutif maupun legislatif) mesti mampu menyampaikan (tabligh) nilai-nilai kebenaran.

Bukan ikut arus. Berdiam diri, pasif dan bersekongkol dengan kejahatan di depan mata. Dalam situasi politik yang dihiasi praktek jahat, saling khianat, maka diperlukan politisi tegas yang berani melakukan perlawanan terhadap kejahatan. Mesti dengan segala resiko yang akan diterima.

Harapan kita tentang politisi tegas, berani dan jujur menyampaikan kebanar di era saat ini sulit terlihat. Jika ada, mereka terbenam. Peran-perannya tidak terlihat. Akhirnya mereka menjadi bak orang asing, ''orang gila''. Yang pandai menggadaikan idealisme dan pelacur politik malah mendapat tempat.

Mereka yang konsisten memelihara idealisme, integritas malah diberangus. Dijadikan musuh bersama. Dikerdilkan, dituduh macam-macam. Apalagi yang tegas, konsisten itu mengambil posisi mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah. Dipastikan, karirnya akan tamat.

Ketika wacana Jokowi 3 (tiga) periode. Peluang masa jabatannya diperpanjang sampai 2027, bisa terjadi. Dalam sejarah pemerintahan kita di Indonesia ini bukan kali pertama. Jika aparatur negara (TNI, POLRI dan ASN) ditambahkan Parpol, BIN, BAIS menyatu. Yang digerakkan kaum pemodal. Maka dipastikan Jokowi tiga periode terwujud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun