"Kamu itu laki-laki! Kok nangis?"
"Ngapain kamu nyapu rumah? Enggak pantes buat kamu!"
"Laki-laki kok pakai skincare?"
Dan masih banyak kalimat-kalimat lain yang dilontarkan secara turun-temurun di masyarakat kita. Perbedaan perlakuan antar gender bermula dari pola pikir masyarakat yang beragam. Kaum laki-laki yang sering mendapat 'keuntungan' perlakuan dari masyarakat ternyata membuat dampak buruk bagi kaum itu sendiri. Mereka sering dituntut untuk berperilaku bagaimana seharusnya maskulinitas yang ada pada laki-laki. Maskulinitas dalam pandangan masyarakat kerap kali dikaitkan dengan sifat dominan, kekerasan, kuat, dan menyembunyikan emosi. Dari sistem sosial tersebut terlahirlah istilah toxic masculinity atau maskulinitas beracun.
Menurut Ross-William, toxic masculinity merupakan konstruksi sosial dari masyarakat patriarki bahwa kemaskulinan seorang laki-laki didasari oleh perilaku represif dan harus bertindak secara dominan. Toxic masculinity sendiri merupakan salah satu bentuk ketimpangan perlakuan gender karena laki-laki dituntut untuk tidak menampilkan emosinya, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, atau bahkan tidak menangis. Di mana hal-hal tersebut merupakan hal yang seharusnya wajar dilakukan sebagai manusia.
Sistem sosial tersebut diturunkan dari generasi ke generasi. Sejak dini, pelabelan itu telah melekat. Bahkan tak ayal bagi para remaja, bukan hanya di rumahnya mereka mendapat pelabelan seperti itu. Ketika mereka belajar di suatu lembaga pendidikan pun masih banyak tuntutan akan kemaskulinitasan baik dari tenaga pendidik atau teman sebaya mereka. Hal itu menyebabkan label maskulinitas yang toksik ini terus berada dalam diri mereka. Sehingga ketika mereka menginjak usia dewasa, trauma dan luka batin akan memengaruhi mereka dalam kehidupan kerja dan rumah tangga.
Saya mewawancarai dua orang pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Dalam wawancara tersebut, ternyata masih banyak kasus yang terjadi terutama bagi teman sebaya.
Reza, salah seorang pelajar aktif SMP, menuturkan pengalamannya ketika ketua OSIS di sekolahnya mendapati olok-olokan akibat sifatnya yang dinilai kemayu.
Juga, salah satu siswa SMA yang saya wawancarai pernah mendapat pengalaman pribadi saat mengikuti Lomba Tata Upacara Bendera (LTUB). Latihan yang sering kali dilakukan di bawah terik matahari, menjadikan perbedaan warna kulitnya atau yang biasa disebut belang. Hal itu membuatnya diejek oleh teman. Dia pun geram dan memutuskan untuk memakai skincare dengan maksud mengembalikan warna kulitnya seperti sedia kala. Namun, celaan datang kembali kepada dirinya. Dia diejek karena memakai skincare dianggap seperti perempuan.
Pelabelan di masyarakat yang melekat, menjadikan seseorang ketika keluar dari jalur tersebut mengalami perundungan. Padahal perlu kita pahami bahwa lembaga pendidikan merupakan tempat untuk belajar dan mengembangkan diri. Ketika pelajar tersebut mengalami perundungan atau ejekan, maka ia akan cenderung lebih menutup diri. Hal tersebut menghambat dia dalam perkembangan minat dan bakatnya.
Mutiea Rizqa , salah satu mahasiswi perguruan tinggi, melakukan studi kasus pada remaja berusia 18 sampai 24 tahun menyebutkan bahwa dampak buruk yang dialami oleh remaja yang disebabkan oleh toxic masculinity ini adalah down, rasa takut dan cemas yang berlebihan, munculnya penyakit mental seperti depresi, bahkan ada hasrat ingin mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.
Disebutkan pula oleh Nur Hasyim, pendiri Aliansi Laki-Laki Baru, "Laki-laki banyak terlibat dalam perilaku yang berisiko misalnya kebut-kebutan di jalan, terlibat dalam kekerasan. Tidak ada self-respect. Tidak asertif. Laki-laki lebih agresif dalam menyelesaikan konflik. Maskulinitas yang hurtful itu tidak manusiawi, bagi laki-laki sendiri apalagi bagi orang lain." Dari paparan Nur Hasyim tersebut, toxic masculinity mempunyai dampak buruk. Terlebih lagi pada mereka yang usia remaja. Mereka akan lebih merasa 'jagoan' dikarenakan pelabelan laki-laki berkaitan dengan kuat, agresif, dan kasar. Sehingga akan menimbulkan kerusuhan-kerusuhan seperti tawuran, kebut-kebutan di jalan, dan lain sebagainya.
Perlunya sinergi antara murid dan guru agar menjadikan lembaga pendidikan menjadi tempat yang sesuai fungsinya dan tidak menakutkan untuk bersosialisasi. Maskulinitas diperlukan kehadirannya agar keseimbangan terjaga. Namun, yang menjadi permasalahan di sini adalah ketika laki-laki yang dianggap kemayu itu mendapat olok-olokan dan hal yang seharusnya lumrah dilakukan semua gender malah dicap sebagai kelakuan salah satu gender saja. Itulah yang disebut toxic.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H