Sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah pepatah yang menggambarkan penderitaan bertubi-tubi. Begitu pula dalam beberapa masalah tindak perdagangan orang yang menyeret anak di dalamnya. Tindak perdagangan orang di indonesia seumpama fenomena gunung es yang nyaris tidak muncul besar di permukaan, melainkan seperti biru dan indahnya lautan, padahal ia meyimpan bara dan guncangan dahsyat.Â
Selama 2018, kasus TPPO menyasar anak dalam 4 kluster, yakni anak korban perdagangan/penjualan, anak korban prostitusi, anak korban eksploitasi seksual komersial dan anak korban pekerja anak mencapai angka 350an kasus. Data ini diperoleh KPAI berdasarkan pengaduan, pengawasan media, kepolisian, serta lembaga layanan perempuan dan anak se Indonesia.
Dari data tersebut, point kritis di tahun 2018 adalah anak korban prostitusi menempati angka tertinggi. Dunia anak menginjak abg, menyisakan masalah besar saat mereka dihadapkan pada persoalan putus sekolah, putus pengasuhan dari orang tua dan berada dalam lingkungan yang sangat kuat pengaruhnya, menarik anak untuk masuk dalam pusaran TPPO. Mereka yang tidak tinggal dengan orang tua, dalam usia belia sudah ditinggal suami, karna perkawinan usia anak, korban KDRT, mereka yang tidak mendapat pengasuhan optimal orang tua, dan diantaranya yang tidak mengikuti bangku sekolah entah karena alasan tidak punya biaya, korban dikeluargan sekolah karena sakit-sakitan atau karena alasan ingin mencari nafkah membantu orang tua .
Dalam beberapa kasus yang KPAI tangani terungkap, anak korban prostitusi mengalami liku-liku perlindungan rehabilitasi fisik dan psikologis yang sangat rumit. Masalah kesehatan reproduksi yang jarang ia ketahui sebelumnya, berdampak pada temuan anak-anak ini rentan mengidap penyakit pms (penyakit menular seksual) terpapar HIV/AIDS, dan kehamilan yang tidak diinginkan diusia yang masih belia. Sehingga cek fisik dan screen wsg pada bagian organ reproduksi sangat penting dilakukan pada anak korban, termasuk catatan pengalaman mereka dalam dunia eksploitatif diantaranya yang menggunakan alat kontrasepsi, bahkan diantaranya dipaksa untuk tidak menggunakannya oleh pelanggan. Lagi-lagi problem psikologis anak menjadi sangat given, atau nrimo karena takut oleh pelanggan bahkan mucikari/bandarnya.
Berikutnya, penanganan psikologis menjadi tantangan besar dalam perlindungan anak-anak ini. Pemulihan psikis, cara berfikir, cara mengingat, cara menyatukan tekad dan motivasi untuk punya kekuatan tidak kembali pada dunia hitam adalah karakter psikologis yang harus dimiliki dalam penanganan rehabilitasi anak korban TPPO.Â
Selain itu bangkit dari rasa malu, rendah diri, minder, rasa bersalah, rasa takut dan lain sebagainya merupakan rangkaian penyiksaan bathin yang biasanya dirasakan anak-anak ini di tengah keterbatasan fasilitas negara dalam penanganan psikologis mereka. Sebab tidak jarang dibeberapa tempat layanan psikologis tidak ada karena tidak ada psikolog atau sumber dayanya. Konteks penanganan ini berkelindan dengan pemenuhan hak anak yang harus dipenuhi, sejalan dengan masalah yang ia rasakan, namun juga tantangan yang harus ia hadapi dan jalani.
Pertama adalah pemenuhan hak pengasuhan dari orang tua. Dalam beberapa kasus, anak di bawah usia 18 tahun sulit dipisahkan dari orang tua. Namun untuk korban TPPO, sebaliknya, ada diantaranya yang takut dan benci pada orang tua. Bahkan ada yang menyatakan dendam karena tidak dipedulikan oleh orang tua.Â
Pada beberapa kasus yang orang tuanya sudah tiada mereka kembali pada keluarga semula. Dan tantangannya adalah, apabila keluarga tersebut masih longgar pengasuhannya, maka kerentanan anak akan kembali pada rantai perdagangan orang semakin besar. Reintegrasi dengan orang tua dan keluarga harus diupayakan setidaknya mengakomodir penyatuan sikap dan tekad anak tidak kembali pada dunia tersebut bersambut dengan penerimaan orang tua/keluarga untuk mengasuh dengan baik, sehingga kondisi ini akan membantu anak benar-benar pulih.
Kedua, pemenuhan hak pendidikan. Dalam kluster 4 Konvensi Hak Anak (KHA), hak anak yang harus dipenuhi adalah hak pendidikan, pemanfatan waktu luang dan rekreasi. Sebagaimana amanah tersebut, orang tua harus sekuat tenaga memenuhinya. Bukan hanya orang tua dan keluarga, kini negara baik Pemerintah dan Pemerintah Daerah punya tugas memenuhinya, tanpa diskriminasi. Untuk itu, anak korban perdagangan orang tetap harus merasakan pendidikan disaat yang bersamaan apakah ia dalam kondisi penanganan atau proses hukum.
Kondisi ini menuntut orang dewasa di sekitarnya turut bekerja sama apakah dengan dinas pendidikan, orang tua dan lembaga pendidikan baik formal ataupun non formal melindungi pendidikannya. Semua stakeholder harus aktif terlibat memberikan ruang pada pemenuhan hak ini sebagai bekal utama untuknya menjalani hidup di masa yang akan datang.
Ketiga penanganan anak berkaitan dengan perlindungan korban dan saksi dalam tindak pidana. Anak akan merasakan proses panjang pemeriksaaan, penyidikan, proses BAP, baik sebagai korban dan juga saksi. Hal ini menjadi kelelahan dan masalah tersendiri yang mereka hadapi. Oleh sebab itu pemerintah menyediakan pendamping di setiap kota/kabupaten untuk menjamin berjalannya proses hukum. Â Lembaga yang punya wewenang berupaya mengimplementasikan hal ini. LPSK, LBH, P2TP2A merupakan bagian tak terpisahkan dalam penanganan proses hukum, baik dikepolisian dan proses persidangan di pengadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H