Peristiwa yang terjadi di Garut  tentang  19 anak melakukan kegiatan seks menyimpang, yakni sodomi dan pencabulan karena di antara korban ada perempuan, sangat memprihatinkan. Mereka terindikasi meniru dan mensimulasikan tayangan porno yang mereka lihat dalam sebuah ponsel.
Sungguh ada kekosongan pengawasan peran orang tua disini, sehingga menyebabkan rasa ingin tahu anak, dan rasa kekanak-kanakan mereka begitu besar untuk mencoba sesuatu yang tidak ia ketahui sebelumnya, tanpa bertanya lebih dulu pada orang dewasa disekitarnya, tanpa konfirmasi dan tanpa berpikir panjang. Begitu kuatnya dorongan rasa ingin tahu anak dalam sekejap dapat meruntuhkan sekian banyak tugas dan peran orang tua yang biasanya menjadi tempat tanya jawab, mengonfirmasi benar salah dan mencegah jika orang tua mengetahui ada yang tidak beres hendak dilakukan sang anak.
Peran-peran orang tua yang kosong tersebut menjerumuskan perkembangan anak yang kian pesat pada pengalaman yang mengakibatkan mereka dalam bahaya. Pengalaman baru tersebut memberi dampak seumur hidup yang sulit dihilangkan dalam ingatan dan berpotensi untuk dilakukan kembali pada orang lain, dan pada saatnya ekspansi mencari pasangan.
Bagaimana Menangani Kasus Tersebut?
Perlindungan pada anak yang melakukan pencabulan, persetubuhan, perlakuan salah dan menyimpang membutuhkan rehabilitasi baik secara fisik dan psikis. Langkah prioritas adalah memastikan kondisi korban dan pelaku diketahui secara pasti apa yang terjadi. Kemungkinan anak melakukan sodomi lebih dari satu kali sangat berpotensi terpapar segala macam bakteri yang menimbulkan penyakit anus dan organ reproduksi, apalagi pada perempuan. Karena perempuan memiliki organ reproduksi yang lebih banyak dan kompleks.
Hasil pemeriksaan medis ini harus dilakukan dengan seksama karena menjadi hulu pada rangkaian intervensi untuk anak baik korban maupun pelaku. Para ahli megatakan potensi luka pada area anus menimbulkan infeksi serius yang menjalar pada pencernaan, panggul, pinggang hingga perut. Pada pelaku yang sudah terbiasa berganti-ganti pasangan potensinya jauh lebih tinggi terjangkit penyakit menular seksual dan HIV Aids.
Pada aspek fisik, anak korban sodomi dapat mudah dikenali secara kasat mata apabila orang tua ingin mengecek anus anak tersebut, luka selaput anus atau kondisi fisik anus akan mengalami perubahan jika diduga telah melakukan sodomi. Langkah pelaporan dan penanganan medis wajib dilakukan. Pengobatan, dan penangnanan yang mendukung pada kesembuhan secara total mutlak dibutuhkan untuk menjamin masa depan anak kembali sehat dan tuntas seperti sedia kala.
Kondisi yang sulit adalah mengenali secara psikis. Sebab perilaku sodomi jika dilihat sepintas seperti tidak terjadi masalah pada anak. Bahkan orang tua mungkin jarang melihat organ tubuh anak pada bagian anus. Pada perempuan tindak pencabulan jika tidak mengakibatkan kehamilan pun jarang diketahui lebih cepat. Namun perubahan emosi dan dan tingkah laku korban apalagi pelaku dapat ditemukenali.Â
Misalnya anak menjadi suka menyendiri, kurang terbuka, menghindari kontak mata, sering melamun, tidak suka keramaian bersama keluarga, mudah marah, uring-uringan terus, dan prestasi menurun karena daya konsentrasi berkurang. Pada waktu yang panjang anak akan kehilangan nafsu makan, serta menimbulkan menurunnya daya tumbuh kembang, yang dipicu, rasa depresi kecanduan, menutupi aktivitas tersebut dengan sangat ketat, bahkan munculnya rendah diri dan rasa hina.Â
Konfrontasi emosi dan jiwa menimbulkan perilaku yang tidak wajar pada anak seusianya yang kemudian menjadi traumatism dalam kebiasaan yang ia alami. Dalam kasus yang tadi diawal disampaikan, aktivitas seksual menyimpang anak-anak ini dipicu oleh seringnya menonton tayangan porno, sehingga sulit terkendali dan ingin mempraktikannya diantara mereka. Menurut Veronica Adesla psikolog klinis dari Personal Growth, yang dikutip laman Detik.com, mengatakan beberapa gejala akibat kecanduan film porno sebagai berikut :
1. Tidak dapat berhenti memikirkan untuk menonton video porno.
2. Sulit fokus dan konsentrasi.
3. Muncul simptom-simptom (gejala) fisik yang mengganggu, seperti gelisah, mudah terangsang secara seksual, dan merasa tidak mampu mengendalikannya.
4. Kondisi emosi tidak stabil, mengalami konflik emosi dalam diri, seperti: merasa bersalah, malu, cemas, marah, dan sebagainya.
5. Aktivitas sehari-hari terganggu, baik dalam bersosialisasi, mengikuti sekolah, maupun bekerja.
Langkah yang harus ditempuh adalah dengan layanan konseling dan terapi psikologis hingga mencapai pulih. Â mereka dapat kembali ceria, tidak mengurung diri, percaya diri dan melihat ke depan, sehingga punya harapan dan mendorong mereka untuk kembali melalui masa remaja, masa mudanya dengan penuh tanggung jawab, dengan tanpa mengulang hal serupa.Â
Di fase inilah psikolog dan keluarga merupakan dua faktor yang harus saling bekerja sama  dalam memastikan anak recovery, pulih dan siap melakukan reintegrasi secara sosial; di sekolah dan masyarakat/lingkungan atas dukungan penuh dari orang tua dan keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H