Mohon tunggu...
Ai Maryati Solihah
Ai Maryati Solihah Mohon Tunggu... Human Resources - seorang Ibu dengan dua orang anak

Mengaji, mendidik, berdiskusi dan memasak indahnya dunia bila ada hamparan bunga tulip dan anak-anak bermain dengan riang gembira mari kita isi hidup ini dengan dzikir, fikir dan amal soleh

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kekerasan terhadap Anak pada Satuan Pendidikan

28 Maret 2019   08:56 Diperbarui: 28 Maret 2019   09:12 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam data  yang dihimpun KPAI mengenai kekerasan dalam dunia pendidikan setidaknya menunjukkan dalam dua katagori, yakni anak pelaku kekerasan di sekolah mencapai  84 kasus sepanjang tahun 2018 dan anak korban kekerasan berjumlah  75 kasus. 

Hal ini sangat menjadi keprihatinan kita semua, sehingga perlu menyikapinya dengan serius agar seluruh komponen pendidikan dalam satuan pendidikan meletakkannya dalam problem solving pendidikan yang harus dijadikan kebijakan sekolah, mengingat kekerasan menampakkan rupa-rupa yang beragam, yang mungkin tanpa kita sadari kita pun sering abai bahkan melakukan kekerasan tersebut. 

Dalam menyikapi kekerasan , alangkah baiknya,  kita mengetahui apakah arti kekerasan yang kerap dialami oleh anak di sekolah, dalam beberapa kasus yang viral, pun Guru diantaranya mendapat perilaku kekerasan dari anak didik . Sehingga penyikapan kekerasan di lingkungan sekolah sangat relevan untuk seluruh komponen pendidikan. Yang harus kita baca adalah meletakkan mainstream perlindungan kepada anak sebagai tujuan utama dari kebijakan ini. 

Kekerasan menurut PERMENDIKBUD no 82/2015 tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan adalah Tindak kekerasan adalah perilaku yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual, dalam jaringan (daring), atau melalui buku ajar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dan mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka/cedera, cacat, dan atau kematian. 

Sedangkan dalam UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak  ada 3 pasal yang mengupas perihal larangan kekerasan pada anak dalam satuan pendidikan, yakni  Pasal 54 : Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Guru, pengelola sekolah atau teman-temanhya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya. 

Kemudian Pasal 76c : Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak dan Pasal 76d : Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Sepanjang tahun 2018  terjadi kekerasan pada anak dalam dunia pendidikan sebagai berikut, kasus kekerasan seksual  oleh oknum Guru Honorer SMPN di DKI yang korbannya mencapai 16 anak laki-laki, modusnya mengajak anak mengoreksi soal ulangan di rumahnya. Kejahatan seksual oknum Guru olah raga di kabupaten Tangerang pada 41 siswanya. 

Modusnya memberikan korban kesaktian/tidak mempan sajam dan ilmu pelet untuk lawan jenis, kemudian tewasnya anak SD di Garut akibat kesalah pahaman, anak tewas ditusuk Gunting oleh teman bahkan kerabatnya sendiri, tawuran pelajar di Cipulir Jaksel  melibatkan 50an pelajar dan menewaskan AH 16 tahun. 

Kemudian Siswa SD di Sergai Sumut, dihukum Guru dengan cara menjilati WC 12 kali karena lupa membawa Kompos, baru 4 kali sudah muntah, Dugaan kekerasan terhadap siswa SMK Dirgantara Batam, ia doborgol, berjalan jongkok dan dikurung diruangan sempit mirip sebuah sel tahanan, Sedangkan anak korban kebijakan pendidikan terlihat dari masalah pengaduan peserta UN yang mengeluhkan soal HOTS yang mereka tidak temukan dalam latihan sebelumnya, Kebjakan zonasi dalam penerimaan siswa baru(PPDB), banyak yang menjadi korban tidak bisa mengakses sekolah negeri di tempatnya.

Untuk itu, membangun sekolah tanpa kekerasan yang sudah menjadi kebijakan pemerintah harus dilanjutkan pada tahap yang lebih implementatif , beberapa kementrian, baik Kementrian pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak dengan program Sekolah Ramah Anak (SRA), serta Kemendikbud dengan Permendikbud tersebut di atas, serta Kemenag (Madrasah Ramah Anak) , harus berupaya menggalakkannya. Bukan hanya memastikan anak  mengikuti proses pembelajaran yang kondusif dan tuntas dalam segala kompetensinya, namun menjamin proses belajar mengajar terhindar dari praktik-praktik kekerasan yang sering kali terjadi pada satuan pendidikan*

  • Penulis
  • Ai Maryati Solihah M.Si
  • Guru MA Al-Muddatsiriyyah Jakarta Pusat tahun 2009 sd 2017
  • Kini sebagai Komisioner di KPAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun