Mohon tunggu...
Ai Maryati Solihah
Ai Maryati Solihah Mohon Tunggu... Human Resources - seorang Ibu dengan dua orang anak

Mengaji, mendidik, berdiskusi dan memasak indahnya dunia bila ada hamparan bunga tulip dan anak-anak bermain dengan riang gembira mari kita isi hidup ini dengan dzikir, fikir dan amal soleh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Human Trafficking" Gaya Baru, Eksploitasi Siswa Berkedok Magang

3 April 2018   12:59 Diperbarui: 4 April 2018   03:56 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa hari ini publik dikagetkan dengan laporan investigasi Koran Tempo bahwa Indonesia sedang dilanda darurat trafficking, yakni penjualan manusia dengan beragam modus, yang salah satunya adalah magang di luar negeri. Tak tanggung-tanggung angkanya mencapai 600 anak ditempatkan di Malaysia dengan jenis pekerjaan yang buruk di perusahaan Walet, dengan jam kerja mencapai 18 jam perhari dan perlakuan tidak manusiawi di Malaysia

Problem trafficking di Indonesia harus diselesaikan sampai akar persoalannya karena sangat berkelindan dengan problem kemiskinan, sulitnya lapangan kerja, hingga kurangnya kesadaran akan pentingnya perlindungan anak. Maka eksploitasi anak dalam dunia kerja menjadi akibat dari sejumlah kebijakan yang kurang ramah anak pula.

Saat ini pelaku sudah menjadi terdakwa dan sedang disidangkan di PN Semarang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sejak tahun 2009. Untuk itu, penting membangun hubungan kerja dengan Luar negeri di Negara manapun lebih mengutamakan perlindungan pekerja Migran Indonesia. 

Program magang sesungguhnya bukan bekerja sepenuh waktu, ia hanya program pendidikan untuk menyiapkan tenaga yang siap pakai di masyarakat. Hendaknya peristiwa ini mengangkat daya kritis sekolah dan orang tua untuk semakin mewaspadai dan berhati-hati dalam menerima penawaran magang kepada siswa.

Berikutnya, kasus ini hendaknya melihat sisi perlindungan anak menjadi domain utama, bagaimana anak tidak boleh dirampas hak pendidikannya oleh beban yang sangat berat yang justru akan merusak tumbuh kembang dan fisik serta psikisnya. 

Pemerintah harus memastikan anak-anak ini sehat dan dapat kembali ke tanah air dengan selamat tanpa kurang suatu apapun. Mereka butuh rehabilitasi fisik, kesehatan dan lahirnya, serta mental Psikologis memastikan keadaan bathinnya. Oleh sebab itu, sejauh mana mereka sudah ditangani untuk memastikan jaminan keselamatan jiwanya.

Yang penting lagi, proses pemulangan dan reintegrasi anak dari Malaysia ini harus disertai perlindungan hak restitusinya, PP no 43 tahun 2017 mengisyaratkan bahwa anak dalam kondisi dieksploitasi baik oleh individu apalagi korporasi, perusahaan atau industri harus menerima ganti rugi sesuai dengan kerugian yang dia alami.

Semoga kasus ini menjadi trigger bagi Polisi dan Pemerintah untuk mengungkap bagaimana korporasi berbau trafficking ini sudah sedemikian dekat menggaet anak-anak bangsa dan mengeksploitasinya untuk kepentingan ekonomi mereka. Kemenlu harus mendesak Konjen Malaysia untuk mempertanggungjawabkan peristiwa ini disamping revitalisasi pengawasan perusahaan yang berada dalam kasus ini. Semga hukum akan bicara seadil-adinya dan berpihak pada keadilan korban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun