Mohon tunggu...
Ai Maryati Solihah
Ai Maryati Solihah Mohon Tunggu... Human Resources - seorang Ibu dengan dua orang anak

Mengaji, mendidik, berdiskusi dan memasak indahnya dunia bila ada hamparan bunga tulip dan anak-anak bermain dengan riang gembira mari kita isi hidup ini dengan dzikir, fikir dan amal soleh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Mana Rimbanya Gembong "Trafficking" Anak?

11 Januari 2018   12:29 Diperbarui: 11 Januari 2018   16:52 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Dalam satu minggu terakhir peristiwa perdagangan orang/anak untuk kepentingan kejahatan seksual, baik melalui eksploitasi persetubuhan dan pencabulan oleh kelompok WNA di Jakarta selatan, serta eksploitasi seksual dan ekonomi melalui memproduksi film porno yang melibatkan anak-anak kepada orang dewasa sangat menyayat hati. 

Kasus kedua disebut-sebut melibatkan orang tua korban yang mengarahkan adegan itu selain ada orang (surtadara) yang merekam film tersebut. Dua peristiwa  ini menunjukkan pola perdagangan orang menapaki fase yang semakin rumit untuk diendus.

Dalam konteks perdagangan orang, unsur-unsurnya jelas terlihat dalam rangkaian peristiwa itu, dimana ada perekrutan yang melibatkan perorangan atau kelompok yang memfasilitasi terselenggaranya pekerjaan tersebut, anak-anak ini diajak, diiming-iming diarahkan dan dibawa oleh sekelompok orang dewasa bahkan orang tua untuk melakukan. 

Berikutnya, pemindahan, penampungan dan penerimaan yang dilakukan kelompok serta perseorangan dalam memperlakukan anak-anak ini, entah di rumah, di hotel bahkan dibasecamp sebuah mall yang menurut pelaku nyaman bagi mereka.

Pelibatan anak dalam kasus ini menyasar kelompok yang lemah secara ekonomi dan pendidikan. Anak-anak ini merupakan orang-orang dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi, yang notabene orang tuanya bekerja sebagai pedagang asongan dan kuli rongsokan, sehingga untuk mereka tinggal dan besar dijalanan sangat mungkin. 

Sehingga mereka betapa rentan dan menjadi kelompok yang mudah untuk dicari dan diakses oleh pelaku. pada akhirnya mereka adalah kelompok yang mengeksploitasi anak-anak yang lemah dan dilemahkan secara ekonomi dan sosial.

Selain secara ekonomi, anak-anak yang disasar juga kelompok yang tidak memiliki pendidikan, mereka adalah anak yang sudah drop out dari Sekolah Dasar, yang kemudian tidak disikapi secara serius oleh orang tuanya untuk segera melanjutkan atau mencari sekolah lain. 

Jadi begitu keluar, anak-anak ini terlupakan untuk segera disekolahkan kembali. Dapat dibayangkan pendidikan dasar saja mereka tidak punya, sehingga begitu mudah terkontaminasi berbagai ajakan dan bujuk rayu yang menjerumuskan mereka pada kehancuran.

Unsur eksploitasi menjadi kunci dalam peristiwa tersebut, dimana anak-anak ini diperlakukan sebagai objek yang bisa diambil keuntungannya untuk tujuan kepentingan dan keuntungan pribadi. 

Eksploitasi seksual terlihat dalam partisipasi seseorang dalam pelacuran, penghambaan secara seksual, atau produksi pornografi sebagai akibat dari ketiadaan pilihan terhadap ancaman, penipuan, pemaksaan, dan tekanan yang mereka terima, sehingga terselenggaralah  peristiwa tersebut.

Pelaku trafficking memang biasanya tidak sendiri, selalu berkomplot dan memiliki skema-skema yang biasa mereka rencanakan. 

Bisa melalui pribadi/pelaku langsung, mucikari (perantara), orang yang membantu, atau yang melakukan percobaan, yang menggerakkan pelaku, pengguna, penyelenggara negara, pengurus korporasi (perusahaan), dan bisa jadi orang-orang yang tidak terlibat namun memberikan kesaksian palsu, memalsu keterangan dalam dokumen dan memalsukan dokumen.

Beberapa catatan dalam dua kasus di atas, sudah saatnya penyelenggara perlindungan anak dan kepolisian bertindak tegas dalam mengusut pelaku dan komplotan kejahatan seksual pada anak.

Kepolisian harus memiliki keberanian dan komitmen yang kuat untuk membongkar sindikat kejahatan seksual yang menyasar anak-anak ini, bahkan aksi mereka sampai pada tahap menyasar anak-anak yang lemah dan tidak berdaya secara sosial. 

Jalan terang ke arah sana dapat dengan menelusuri asal muasal WNA yang memesan dan meminta anak-anak di bawah umur untuk melayani hasrat seksual mereka.

Peristiwa yang di Jakarta, melibatkan bule Jepang, Republik Ceko dan Kewarganegaraan lainnya seharusnya menjadi entry point kepolisian untuk masuk pada kedutaan setempat agar memiliki data otentik tentang pelaku, memastikan apakah dinegaranya mereka merupakan kalangan yang masuk dalam jaringan penyuka anak (pedofil ) atau tidak, sehingga bertemu kepentingan besarnya yakni membongkar sindikat pedofilia lintas negara yang saat ini sedang mengancam berbagai negara.

Pada kasus eksploitasi yang di Bandung, polisi dapat melacak bukti transferan atau account orang yang membayar pelaku sutradara film porno tersebut, siapakah mereka dan apakah ada jaringan yang sama dengan kelompok pedofil yang disinyalir memesan video mesum anak untuk dikirim ke negara Belanda, Rusia dan Canada melalui Bali, seperti yang disampaikan Polda Jawa Barat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun