Bisa melalui pribadi/pelaku langsung, mucikari (perantara), orang yang membantu, atau yang melakukan percobaan, yang menggerakkan pelaku, pengguna, penyelenggara negara, pengurus korporasi (perusahaan), dan bisa jadi orang-orang yang tidak terlibat namun memberikan kesaksian palsu, memalsu keterangan dalam dokumen dan memalsukan dokumen.
Beberapa catatan dalam dua kasus di atas, sudah saatnya penyelenggara perlindungan anak dan kepolisian bertindak tegas dalam mengusut pelaku dan komplotan kejahatan seksual pada anak.
Kepolisian harus memiliki keberanian dan komitmen yang kuat untuk membongkar sindikat kejahatan seksual yang menyasar anak-anak ini, bahkan aksi mereka sampai pada tahap menyasar anak-anak yang lemah dan tidak berdaya secara sosial.Â
Jalan terang ke arah sana dapat dengan menelusuri asal muasal WNA yang memesan dan meminta anak-anak di bawah umur untuk melayani hasrat seksual mereka.
Peristiwa yang di Jakarta, melibatkan bule Jepang, Republik Ceko dan Kewarganegaraan lainnya seharusnya menjadi entry point kepolisian untuk masuk pada kedutaan setempat agar memiliki data otentik tentang pelaku, memastikan apakah dinegaranya mereka merupakan kalangan yang masuk dalam jaringan penyuka anak (pedofil ) atau tidak, sehingga bertemu kepentingan besarnya yakni membongkar sindikat pedofilia lintas negara yang saat ini sedang mengancam berbagai negara.
Pada kasus eksploitasi yang di Bandung, polisi dapat melacak bukti transferan atau account orang yang membayar pelaku sutradara film porno tersebut, siapakah mereka dan apakah ada jaringan yang sama dengan kelompok pedofil yang disinyalir memesan video mesum anak untuk dikirim ke negara Belanda, Rusia dan Canada melalui Bali, seperti yang disampaikan Polda Jawa Barat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H