Mohon tunggu...
Ai Maryati Solihah
Ai Maryati Solihah Mohon Tunggu... Human Resources - seorang Ibu dengan dua orang anak

Mengaji, mendidik, berdiskusi dan memasak indahnya dunia bila ada hamparan bunga tulip dan anak-anak bermain dengan riang gembira mari kita isi hidup ini dengan dzikir, fikir dan amal soleh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Multikulturalisme dalam Perspektif Perlindungan Anak

30 Desember 2017   07:12 Diperbarui: 30 Desember 2017   11:27 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah kesempatan saya diundang talkshow[1] di sebuah pergurun tinggi negeri yang ternama di Jawa tengah dengan mengambil tema multikulturalisme dalam perspektif perlindungan anak. Alangkah senang hati saya, sebab flashback di suatu perguruan tinggi dengan background kuliah saya dan akan menyampaikan materi yang saya kira sangat penting menjadi wawasan calon Guru dalam membuat paradigma baru pendidikan yang mampu menjawab tantangan zaman, yakni pengarusutamaan hak anak dan dimensi kultural studies dalam kerangka pendidikan di Indonesia.

Mengapa ini penting? Sebab Prof. Sulistiyowati Irinto[2]  Guru besar Antropologi UI mengatakan bahwa kecenderungan keilmuan di masa depan adalah ilmu tentang inter disipliner, kultural studies, multicultural dan multi disipliner yang konon mampu menjawab problem mutakhir di masyarakat yang dipenuhi masalah-masalah konflik, dinamika social, dan masalah-masalah identitas.

Benar apa yang disampaikan oleh Guru besar tersebut, sebab jika bicara tentang dunia pendidikan tanpa mengungkap akar masalah suatu bangsa, ibarat api jauh dari panggang, maka akan sia-sia, walau ada fungsi-fungsi yang mungkin tidak optimal. Dalam ranah pendidikan kita akan berbicara tentang 83,99 juta anak Indonesia. Mereka tidak pernah tahu mau dibawa berselancar di dunia pendidikan seperti apa, apa saja kurikulum, metode, alat penilaian dan proses pendidikan di Indonesia sehingga mereka dapat menikmati sekolah/ madrasah yang sudah ada dengan menyenangkan.

Sedangkan latar belakang anak-anak Indonesia sangat beragam, sesuai dengan kondisi geografis, agama, adat, budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda. Sehingga pendekatan muatan lokal dan kearifan lokal sangat berperan dalam transfer keilmuan tersebut. lalu bagaimana dengan anak-anak yang sudah terkerangkeng dalam konflik social di masyarakat. Setidaknya terdapat rentetan anak-anak korban konflik social di masyarakat yang mengalami kesulitan luar biasa dalam mengakses hak dasar mereka mengenyam pendidikan. Misalnya sewaktu tahun 1999, di[3]POSO konflik atas nama agama antara Islam dan Kristen menjadi petaka bagi anak-anak dalam memahami perbedaan, butuh puluhan tahun untuk recovery dan mengokohkan sikap toleransi diantara perbedaan yanga ada.

Kedua di Kuningan, menyebarnya Islam Buhun atau Islam Wiwitan yakni aliran kepercayaan yang menggabungkan harmoni alam dan budaya leluhur yang terus berkembang. Masalahnya, karena penduduk belum memiliki KTP dan tidak mengisi di kolom agama, maka anak-anak tidak punya Kartu keluarga dan  anak-anak hidup tanpa Akta kelahiran, dampaknya akses pendidikan, kesehatan dan layanan publik sangat sulit untuk ditembus.

Berikutnya konflik di Sampang, konflik Suni dan Syiah membuat anak-anak di Kab. Sampang perlu perhatian dalam membangun harmonisasi dalam kehidupan. Sedangkan luka lama pengusiran dan kekerasan warga Syiah saat itu merupakan bentuk-bentuk traumatic yang sulit dilupakan. Namun, anak-anak adalah generasi yang akan mengisi peradaban ini, mereka harus tetap hidup dan berkembang dengan baik walau pemulihan-pemulihan berjalan secara bertahap. Dan di Surabaya, fenomena Gafatar sangat meresahkan. Korban eks Gafatar adalah anak-anak dan perempuan asal Jawa timur bayak sekali. Mereka ikut dalam migrasi yang hanya turut suami tanpa pilihan, namun kini mereka harus berjuang dari nol lagi untuk hidup berkeluarga, bersosial, bahkan mengembalikan pikiran-pikiran yang ingin mendirikan kehidupan sendiri. Tentu ini tidak mudah, perlu pendekatan dalam penanganan yang baik.

Merujuk pada paradigma multikulturalisme, disiplin ilmu ini membangun sebuah  pendekatan progresif untuk melakukan transformasi instrumen rekayasa sosial dalam dunia yang penuh gejolak konflik tersebut dalam upaya harmonisasi. Tugas utama multicultural adalah menanamkan kesadaran dalam masyarakat multikultur yang beragam sehingga terbina saling menghormati, saling menyayangi dan peduli walau pun banyak perbedaan di masyarakat,

Yang mampu mendorong masyarakat seperti itu salah satunya adalah dengan menyatukan paradigma multicultural dalam ruang pendidikan melalui kesadaran pada perlindungan anak, pada pemenuhan hak anak walau apapun latar belakang kehidupan mereka yang beragam tersebut. Mengutip Nieto (Pupu Saeful Rahmat, 2008) dalam tulisan Purwo Susongko[4], ia menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilanketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.

Anak adalah mereka yang belum berusia 18 tahun termasuk yang di dalam kandungan. Mereka wajib memperoleh hak-haknya dari orang dewasa yang berada di sekitarnya, orang tua, Guru, masyarakat, sampai Pemerintah. Hak apa saja? Dalam Konvensi Hak Anak, Indonesia telah meratifikasinya sejak tahun 1990 menjadi Instruksi Presiden yang menghormati prinsip-prinsip hak anak, yaitu hak hidup dan tumbuh kembang sesuai dengan usia mereka, kemudian hak mereka non diskriminasi dari ribuan suku bangsa dan budaya di Indonesia, kemudian mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, bukan bagi siapapun yang berada di sekitarnya, serta mengoptimalkan bentuk-bentuk partisipasi mereka dalam pembangunan, dalam kehidupan, dalam berbangsa dan bernegara.

[1] Nara sumber pada Talkshow Multikulturalisme dalam perspektif perlindungan anak yang diselenggaran oleh UIN Wali Songo Semarang Jawa Tengah, tanggal 6 November 2017

[2] Dalam suatu kesempatan Pelatihan Kepemimpinan di Fatayat NU tanggal 1-5 Desember 2017, Profesor Sulistiyowati Irinato memberikan pengantar dengan mengatakan multi disipliner merupakan disiplin keilmuan yang akan berkembang pesat di masa depan

[3] Lihat di latar belakang konflik Poso diunggah 30 Desember 2017

[4] Pengembangan Standar Kompetensi Pada Pendidikan Multikulural Di Sekolah Oleh Dr Purwo Susongko, Mpd, diunggah 30 Desember 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun