harmoni agama (islam) dan negara
Adalah peneguhan bagi bangsa ini dalam menjalankan agama Islam di Indonesia. Dalam tausiyah puncak harlah Fatayat Rais Aam PBNU KH Maruf Amin menyatakan bahwa bangsa ini harus dikelola dengan baik melalui pengamalan Islam ahlussunah waljamaah Annahdliyah. Sebab kita adalah manusia modern yang lahir dan dibesarkan dalam kultur dan geneologi bangsa Indonesia yang memiliki corak, khasanah serta kearifan yang berbeda dengan negara lain. Ini merupakan pengamalan peradaban manusia paling tinggi dalam mengekspresikan cara-cara beribadah dan berumamalah serta bersiyayah (bernegara) yang senantiasa bersinggungan dengan perbedaan kelompok dan  kepentingan. Meski demikian sifat ini tidak membiarkan lemah, lembek dan apriori dalam menjalankan syariah, melainkan memiliki keteguhan (i'tidal) dan tidak mudah goyah dalam memelihara keimanan kepada Allah SWT. inilah yang selalu didengungkan oleh NU sebagai Hubbul Watthan (atau cinta tanah air) dalam penjabaran Habluminallah dan Habluminannas, bahkan menurut Kyai maruf adalah Hubbul annadliyah yakni mencintai karakter/manhaj Aswaja yang dimiliki NU sebagai perekat dan pemersatu bangsa di Indonesia.
Pada bulan ini Fatayat NU lounching 500 orang Daiyah anti Radikalisme dan terorisme sebagai sebuah penyatuan sikap cinta tanah air yang digerakkan oleh nilai spiritualism religius yang dimiliki oleh perempuan Fatayat yang tumbuh mekar di level paling bawah menjadi daiyah di Majelis2 Taklim, Guru agama pada satuan pendidikan mulai dasar hingga tinggi dan sebagai peran Ibu rumah tangga yang mendidik dan mengasuh anak-anak oleh nilai-nilai khasanah keislaman keindonesiaan.
harmoni Civil society dengan negara
Demokrasi adalah pilihan. Meski ia terlahir dengan cacat bawaan tentang kebebasan dan role off the game yang selalu tidak tuntas, menuntut penyempurnaan dan partisipasi .Bagi pelaku yang memiliki hati, akal sehat (konstitusi) norma etika dan tuntunan agama ia bisa berjalan dalam koridor yang baik pula, namun apabila ia menjelma menjadi monster yang hanya berorientasi kekuasaan maka seperti yang dikatakan Machiavelli seseorang syah melakukan apapun (termasuk membantai) untuk berkuasa dan mempertahankannya.Â
Fatayat Nu sebagai organisasi perempuan yang konsen dengan perbaikan nasib perempuan dan anak telah bersumbangsih dalam pembangunan baik secara personal menjadi para pejabat publik, aktivis dan penggerak di level elit dan akar rumput (menjadi DPRRI DPRD, Bupati dan walikota, serta lembaga-lembaga Negara Komnas perempuan, KPAI, KPPU, Duta Besar Negara Sahabat, pejabat kementrian, kepala kanwil, penyelenggara Pemilu KPU Bawaslu, dll) . Dan secara kelembagaan progressif membangun hubungan yang baik dengan pemerintah serta hubungan internasional dalam segala bidang. Fatayat mengambil bagian bangsa yang bottom Up dalam berdemokrasi dan lebih mengutamakan kemandirian serta pendidikan yang berakhlakul karimah dalam relasi bernegara. Hal ini menumbuhkan rasa cinta terhadap bangsa, terhadap negara dengan memegang prinsip-prinsip demokrasi dalam melayani umat dan berdedikasi kepada bangsa ini.
harmoni perempuan dan negara
Bertepatan dengan Hari kartini pada bulan ini, Fatayat NU yang lahir pada 24 april tahun 1950 menggelar hari lahir. Fatayat NU Â memiliki keprihatinan mendalam terhadap sesama perempuan yang sesungguhnya memiliki potensi yang sama dengan laki-laki namun selalu menjadi kaum yang marginal, tertindas dan tidak mendapat akses pembangunan. Dengan gerak langkah Fatayat sebagai organisasi perempuan maka peran-peran advokasi dan kemanusiaan serta pelayanan adalah ciri khas fatayat Nu dengan mengambil inspirasi dari para alim Ulama perempuan, pendiri Fatayat Nu adalah 3 serangkai yang melihat fatayat sebagai potensi pemudi bangsa dan menyuarakan kepentingan nasib perempuan. Sejalan dengan pembangunan berkelanjutan program-program fatayat menyasar pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dilandasi oleh pengkaderan secara ideologis dan terdidik dalam payung besar Nahdlatul Ulama. Program-program gemilang Fatayat hadir dalam menjawab dan merespon persoalan yang sedang marak dimasyarakat dengan gerakan bersama baik dengan pemerintah dan stake holder.
Tentu usia 67 adalah kematangan dalam bersikap dan berorganisasi, Fatayat harus selalu hadir dalam membangun bangsa ini dengan cinta yang melimpah kepada semesta alam sebagai dedikasi kader bangsa untuk negerinya. Bukan hanya perbaikan secara kelembagaan, namun Fatayat dituntut lebih pro aktif dan progressif dalam pemikiran-pemikiran dan sumbangsih nyata di masyarakat. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H